Bicara Sketsa (2)

April 27, 2018


Halo, selamat datang di cerita lanjutan tulisan sebelumnya. Kalau belum baca cerita sebelumnya, dibaca dulu boleh dong, klik di sini. Hehe.

Sudah? Mari lanjut~

Saya bilang mau cerita soal tanya jawab saya sama Mas Imam kan ya? Tapi maap, pemirsah, saya kok kehilangan beberapa draft hasil tanya jawab sama doi ya. Hehehe. Tenang, saya akan berusaha mengingat apa saja yang saya obrolkan dengan Mas Imam.

Biar sambil menyelam minum jamu, saya kadang..eh sering, minta tips sama orang yang punya skill mumpuni tentang bagaimana mereka menekuninya dan ‘hidup’ di dalamnya. Ciah. Sama Mas Imam ini pun begitu, dia berbagi beberapa hal soal menggambar sketsa. Berikut:



PEDE

Iya, percaya diri. Kata Mas Imam, modal utamanya ya pede itu. Apalagi sketsa ya, nggak usah takut salah. Nggak perlu mikir harus begini harus begitu, lanjut aja nggak usah minder. Beranilah dengan style mu sendiri. Ihuy~

Begini kata Mas Imam:

“Pede aja, kan nggak ada patokan khusus sketsa harus kayak gimana. Sketcher juga punya gaya masing-masing. Jadi ndak usah minder.”

Lalu bagaimana dengan saya? Ya tetep ada lah minder-minder gemes. Walaupun sekarang sudah jauh lebih tidak minder. Cenderung ke-bodoamatin aja deh apa kata orang soal karya saya.

Selama itu tidak merugikan dan membuat orang lain sedih, lanjut aja.

Eh itu tambahan kutipan dari papanya Om Pinot yang muncul di cuitan akun Twitter Om Pinot beberapa waktu lalu. Hehe.


MULAI AJA

Nggak perlu mikir harus pakai alat-alat tertentu untuk menggambar sketsa. Seadanya kertas sama bolpen aja. Ndak perlu pakai alat dengan merk ternama dan mahal. Bahkan Mas Imam pun ternyata belum lama kenal cat air. Kata dia gini:

“Saya mulai belajar cat air pakai cat air yang satu set 25 ribu. Hasilnya nggak jauh beda sama yang mahal. Nggak ngefek.”

Nah kalau ini, saya nggak nurut. Hehehe. Kalau belum punya alat A atau B, saya nggak mau mulai. Hmmm. Saya mengidamkan satu cat air yang dipakai sama artist favorit saya, saya pun bertekad untuk nabung biar bisa beli benda itu. Setahun menyisihkan uang saku. Waktu itu masih kuliah dan uang saku cukup untuk kebutuhan kuliah aja. Sebuah kerja keras. Hehe.

Sekarang pun begitu, maunya pakai cat air B, akhirnya menyisihkan gaji untuk bisa beli benda duniawi itu. Tapi ternyata bener kata Mas Imam, nggak ada bedanya. Efeknya sama aja. Cat air A sama B sama aja! Apa yang membuat beda adalah cara mengaplikasikannya, skill nya, keterampilannya. Jadi, alat bukanlah segalanya.


Ini pop-up frame jaman taun 2015 besama Hasta Craft (nggak nyambung sih, biar ditanyain aja)



PROSES ITU PENTING

Nah, ini jadi penekanan Mas Imam. Dia bilang, banyak yang ngira kalau dia nggambar itu sekali jadi langsung beres. Padahal, NO, tidak selalu. Dia biasanya sket dasar dulu, nggak langsung diwarnai. Kata dia, ngewarnainya bisa kapan-kapan. Nah kan.. karena buat dia, yang penting dia seneng dalam prosesnya. Kayak yang dia bilang:

“Yang penting saya seneng, mewarnainya seneng, buat refreshing.”

Dia juga bilang, karena sehari-hari dia berkutat dengan gambar digital, menggambar sketsa ini jadi sarana penyegaran buat dia. Poinnya adalah, dia nggambar sketsa buat seneng-seneng, dan tidak melibatkan deadline. Yha! Saya setuju soal ini.

Dia lanjut bilang, dia juga nyambi belajar typography karena dia memang pengen. Buat belajar sambil seneng-seneng aja pokoknya mah.

Doi jadi ilustrator makanan juga karena nggak sengaja kan. Dari proses dia iseng belajar sketsa, terus nemu banyak kuliner sarapan, digambar, diunggah ke media sosial, eh banyak yang suka. Yang penting diri sendiri seneng dulu, orang lain seneng dan mengapresiasi itu bonus. Hazegg.


INSPIRASI

Cari inspirasi itu penting. Biar tetep semangat berkarya. Itu kata saya sih, bukan kata Mas Imam. Kalau ditanya soal inspirasi, banyak visual artist yang dia kagumi dan jadi pemantik dia untuk berkarya. Tapi, Mas Imam share salah satu sumber inspirasinya dia. Sebuah buku berjudul Tokyo on Foot. Buku ilustrasi yang saya juga naksir abezz tapi belum keturutan beli sampai sekarang. Huhu.
Mas Imam bilang:

“Saya suka baca Tokyo on Foot, jadi semangat.”

Terus sayanya nyeletuk:

“Wahhh, Masss, aku puengen banget punya buku itu!”

Dijawab:

“Oya? Kapan-kapan boleh deh tak pinjemin. Hehehe.”

Asique~ sayanya langsung sumringah aja gitu hahahaha.


Saya pun sempat cerita ke Mas Imam, kalau saya juga suka menggambar, bikin-bikin kerajinan tangan dan ilustrasi. Tapi saya nemu titik saat hal yang saya lakukan itu tidak lagi nikmat dan refreshing.

Di luar dugaan, Mas Imam bilang:

“Lanjutin aja, sayang lho.”

Saya cuma bisa ber-hehehe aja mendengar kalimat Mas Imam. Masih ada sisa-sisa keengganan untuk menggambar buat orang lain waktu itu.

“Nanti deh, Mas. Jeda dulu kayaknya. Hehe.”

Saya jawab begitu.

Sekarang saya memberanikan diri memulai kembali menggambar untuk orang lain. Dikit-dikit, dengan pola menggambar semaunya. Iya, saya nggak mau ngoyo menerima banyak pesanan. Ketika saya mampu dan ada waktu aja.

Nah soal berkarya untuk orang lain, nanti ya, dibahas di Bicara Sketsa berikutnya. Saya ajak ngobrol temennya Mas Imam, yang juga sketcher idola saya. Mhuehehe. Siapa? Nanti ih~

Oke. Lanjut, saya juga ditanya-tanya balik sama Mas Imam soal profesi saya sebagai pekerja teks komersial. Saya ditanya seputar dedlen, target tulisan, kerja lapangan, dll dll. Dia lebih jago nanya daripada saya. Keknya dia bakat jadi jurnalis. Satu kalimat yang mengejutkan dari bliyo:

“Aku tu pengen dan penasaran jadi jurnalis.”

Nah kaannnn.... Mbok plis, Mas, kita ijolan alias tukeran aja.

“Mbaknya enak lho, bisa dua-duanya, mau nulis bisa mau nggambar bisa.”

Aigooo... Udah deh itu saya mati kutu dikatain begitu.



Sampai jumpa di Bicara Sketsa berikutnya. Dadaah~




Ini juga sama kayak foto pertama, dibikinnya barengan~



Kalau ini karya saya bersama Hasta Craft yang paling banyak ditanyain orang~ hehe~



You Might Also Like

0 komentar

Subscribe