Selapan(an)

Mei 31, 2014

Selapan? Selapanan?




Aku gemes dengan perdebatan dua kata itu. Hih. Aku gemes karena aku menemukan diriku sendiri bingung memasukkan kategori tembung ‘selapanan’ itu dalam kategori tembung apa. Serasa percuma kuliah ilmu bahasa tapi hasilnya babar blas.

 Kubuka kitab sakral, Baoesastra Djawa karangan W. J. S. Poerwadarminta terbitan tahun 1939 (Punyaku sih yang abal-abal, yang asli sudah tidak cetak ulang). Halaman 554, tertulis selapan kn: (□ dina) 35 dina. Ternyata itu belum cukup menjawab pertanyaanku. Mbah Poerwadarminta tidak menambahkan keterangan jika tembung itu diberi akhiran {-an}.

Aku beralih ke buku lain. Morfologi Bahasa Jawa karangan dosenku, Gus Mul. Aku sampai membaca kembali, jenis-jenis tembung atau kata dalam bahasa Jawa itu ada apa saja, cirinya seperti apa. Semakin terasa bahwa di kelas aku hanya sekedar presensi saja. Eh, tapi enggak nding, tatap muka dengan Gus Mul juga hanya empat kali di mata kuliah Tata Tembung.

Kembali ke pokok bahasan. Mataku tertuju pada penjelasan tentang tembung kriya atau kata kerja di dalam buku itu. Salah satu ciri struktur katanya adalah kata dasar – an, dengan contoh: gojekan, lungguhan. Kalau begitu selapanan termasuk, dong? Sebentar, aku tengok di bawahnya ada ciri kata kerja dilihat dari struktur sintaksis atau pembentukan kalimat. Salah satu cirinya adalah tidak dapat didahului oleh ‘rada’ atau ‘agak’, oh iya ya, mana mungkin terbentuk ‘rada selapanan’ kecuali yang maksa bikin pancen rada edan.


Tapi, ada keterangan lagi yang menyatakan bahwa tembung kriya itu kata yang menunjukkan perbuatan atau tindakan, dapat juga kata yang mempunyai makna berlangsungnya sesuatu, kutipan bukunya Pak Sasangka tahun 2001. Njuk? Aku tetap masih ragu.

Beralih ke halaman-halaman berikutnya di buku Gus Mul. Ada jenis kata yaitu tembung wilangan atau kata bilangan. Pada halaman 59 ada jenis tembung wilangan yaitu wilangan pecahan. Kata Gus Mul di buku ini, dalam bahasa Jawa ada beberapa kata bilangan yang khas, jumlahnya jelas, dan masih dipakai sehari-hari oleh orang Jawa, misalnya:


Sajinah (sejinah) = 10 biji
Sapasar (sepasar) = 5 hari
Salapan (selapan) = 35 hari
Sawindu (sewindu) = 8 tahun
Sajodho (sejodho) = 1 lelaki 1 perempuan
Sapasang (sepasang) = 1 kanan 1 kiri
Satangkep = gula setangkep
Sagandhok = tempe sagandhok
Satundhun = gedhang satundhun
Sagedheng = pari sagedheng
Salirang = gedhang salirang
Sasiyung = jeruk sasiyung
Sasisir  = gedhang sasisir

Lucu-lucu kan? Beberapa ada yang asing, beberapa ada yang masih sering kita temui. Selapan termasuk salah satu yang masih sering ditemui. Jujur aku masih bingung ‘selapanan’ itu masuk kategori tembung apa. Ada contoh kalimat dengan melibatkan kata ‘selapanan’ dan ‘selapan’ nih.

Yu Warti menyang selapanan nggone Yu Karti

Pada kalimat di atas, ‘selapanan’ itu fungsinya sebagai lesan alias objek. Lesan atau objek biasanya melibatkan kata benda. Dalam konteks kalimat di atas, kurasa ‘selapanan’ masuk kategori tembung aran alias kata benda.

Berikutnya:

Wis meh selapan anggone Warti ngenteni Warjo bali.

Kalimat di atas jelas ya, karena yang dipakai ‘selapan’ bukan ‘selapanan. Jadi memang kata ‘selapan’ berfungsi sebagai kata bilangan.

Dari kedua contoh tadi, aku belum juga bisa menyimpulkan sesuatu. Sepemahamanku, di masyarakat sekarang, kata ‘selapanan’ itu mengarahnya pada suatu peringatan 35 hari setelah suatu kejadian terjadi. Tidak hanya peringatan lahirnya bayi saja sih sebenarnya, apapun bisa, tapi memang terlanjur identik kesana. Menurutku kata ‘selapanan’ merujuk ke arah hasil bukan proses. Kenapa? Karena ya itu tadi maknanya 35 hari setelah sesuatu terjadi. Kalau ‘selapan’ itu bisa dikatakan prosesnya. Kowe nulis arep pirang dina, Meng? | Aku nulis selapan wae cukup.Itu proses. Kalau hasil: Wis rampung ta le nulis? Selapanane kapan? | Selapanane rong dina maneh ki. Yah, kurang lebih begitu lah.


Entah ‘selapanan’ itu termasuk kategori tembung apa, kurasa tergantung konteks juga. Kalau ‘selapan’ aku percaya dia termasuk tembung wilangan.

Untuk masalah hashtag, aku lebih enak pakai #SelapanNulis. Kenapa? Pertama jelas ‘selapan’ itu proses. Lalu kenapa enggak nyerat? Karena menurutku kita tidak boleh mbasake awake dhewe. Gitu kan? Dalam bahasa Jawa, diri sendiri tidak boleh pakai basa krama. Ya begitulah~ Lain kali mau ketemu dosen ah, mau tanya ‘selapanan’ itu termasuk tembung apa. Hahaha~

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe