'Blusukan' Pernikahan Putri Raja [Part V]

April 25, 2014



Hari Sabtu, 12 Oktober 2013.


Sekitar pukul 06.00 pagi kami ‘tim website butiran debu’, demikian kami menyebut diri kami, sudah standby di rumah Bu Anik. Jadwal kami hari itu katakanlah site visit jilid kedua. Apa bedanya dengan site visit yang pertama? Yang membedakan adalah, hari itu kami akan audiensi dengan GKR Hayu dan KPH Notonegoro bersama dengan tim dokumentasi. Hal yang lebih membuat berbeda adalah, kami diharuskan menjajal kostum yang sudah kami persiapkan kemarin: janggan dan pranakan.


Kami benar-benar di-make-over hari itu. Untuk para lelaki, kostum yang mereka kenakan cukup sederhana karena hanya baju pranakan, kain jarik, dan blangkon. Sedangkan para wanita, kami harus menghadapi tantangan terbesar kami: sanggul tekuk. Oh men, sanggul tekuk itu memang literally besar! Kami sangat khawatir jika nantinya sanggul copot saat kami lari-larian reportase. Bisa dibayangkan, saat sedang mengejar momen dan butuh lari-larian, sanggul besar di kepalamu copot dan menggelinding indah di tanah? TIDAK. Itu TIDAK akan terjadi.

Tiba saat pemasangan sanggul, kami para wanita ndak ada yang mau duluan dipasangi sanggul. Semakin lama sanggul terpasang, semakin cepat kemungkinan sanggul itu copot dan menggelinding, sodara! Pada akhirnya di kepala kami sudah ada tambahan rambut sebesar baskom *lebay* di kepala kami. Saat proses pemasangan, kami berkali-kali tanya ke Bu Anik, “Buk, ini nanti ndak copot, kan, Buk? Beneran kenceng kan, Buk masangnya??” dan kami selalu mendapat jawaban penuh keyakinan dari Bu Anik, “Enggak, Mbak..enggak…sudah kenceng ini.” Ya sudah, kami percaya saja kata Bu Anik, meskipun was-was.

Proses dandan para wanita memang memakan waktu lama. Dari jam 6 pagi dandan, baru selesai jam 7.30, padahal kami dijadwalkan berkumpul di Kraton Kilen jam 7.30. Ya telat dikit ndak apa kan. Hehe. Semua sudah beres berdandan. Kami saling takjub dengan penampilan kami. Ada saja yang dicela. Kalau saya kebagian dicela karena jidat saya macam bidang cobek batu yang lebar, itu kata Rankin. Meskipun kami tercela, tetap kami harus foto bersama dulu sebelum berangkat ke Kraton Kilen. Hahaha.






Kami pun pamit ke Bu Anik dan Pak Bowo untuk berangkat. Karena jarak rumah Bu Anik ke Kraton hanya sejauh lemparan batu, kami cukup berjalan kaki. Kami berjalan kaki, di bawah rindangnya pohon-pohon di tepi jalan, diiringi semilir angin pagi hari, dan sinar matahari yang menyusup dari balik dedaunan pohon…*ini serius lho suasananya seperti itu*. Semua mata para tetangga Bu Anik tertuju pada kami (*v*). Wujud kami saat berjalan bersama memang seperti boy-girl band jadi-jadian yang berpakaian serba gelap, pakai kain jarik, pakai blangkon, sanggulan, tapi menggendong ransel *fail*.

Memasuki gerbang Magangan, langkah kami terhenti. Lho, kenapa? Ada apa? Security check? Enggak, kok, enggak. Kami harus melepas alas kaki kami saat memasuki komplek Kraton. Itu karena kami sudah berbusana layaknya abdi dalem Kraton, maka kami juga harus memposisikan diri ikut aturan menjadi seorang abdi dalem *totalitas cyin!*. Jadilah kami menyimpan sepatu kami di dalam tas ransel dan berjalan menuju Kraton Kilen dengan bertelanjang kaki.

Sampai di Kraton Kilen, kami menunggu rombongan tim dokumentasi ya sepertinya sedang on the way. Kami menunggu sambil duduk di emperan pendopo. Tak lama terlihat Mas Sap dengan busana abdi dalemnya berjalan dari kejauhan. “Rombongan dokumentasi mana, Mas?” tanya salah satu dari kami ke Mas Sap. “Sebentar lagi sampai kok,” jawab Mas Sap. Benar saja, dari kejauhan tampak serombongan manusia berkostum gelap layaknya kami, berjalan dengan telanjang kaki. Jumlah mereka lebih banyak dari tim kami. Mereka berjalan dalam barisan dua berbanjar, macam kalau lomba gerak jalan ituh. Kerennya lagi mereka jalan dalam diam, enggak sambil cerewet sendiri haha hihi seperti tim kami. Kami satu tim langsung mlongo aja lihat penampakan mereka yang begitu ‘lempeng’. Kami serasa salah tempat gitu..hehe.

Setelah sedikit basa-basi, kami dibimbing Mas Sap dan satu lagi abdi dalem bernama Mas Bim masuk ke komplek Kraton Kilen. Atas saran Mas Bim, supaya rapi, kami, tim web juga harus bikin barisan mengikuti barisan mereka. Jadilah kami masuk ke barisan gerak jalan itu di bagian ekor. Dibilang lucu tapi kok ya ndak lucu, kalo ndak lucu kok ya bikin nahan ketawa. Sudahlah, ikuti aturan, salah-salah nanti kena yang tidak-tidak gimana cobak? Jangan sampai ya Tuhan.

Dibandingkan dengan tim dokumentasi, tim kami memang terlihat nyentrik dan slengekan. Anggota tim dokumentasi penampilannya terlihat perfek. Anggota yang laki pakai kostum yang kurang lebih serupa dengan anggota laki tim kami, hanya saja tim mereka tidak ada satupun yang menggendong tas ransel macam kami. Apalagi anggota tim perempuan mereka, janggan yang mereka pakai seragam semua, ndak ada yang beda motif/model, jarik  yang mereka pakai juga senada dengan jarik para lelakinya. Hal yang membuat kami terlihat lebih ngenes adalah, mereka pakai make-up seperti kalau mau kondangan, bibir merah merekah dipoles gincu, ditambah sanggul mereka! Ya, SANGGUL! Punya mereka rapi bentukan salon, terlihat kokoh kuat tak tertandingi! *itu sanggul dikata semen*. Sanggul mereka sepertinya enggak akan copot dan menggelinding meskipun mereka salto-salto keliling Kraton -.-

Lupakan kedengkian kami *sebenernya saya aja sih, pake ajak-ajak temen*. Kami pun memulai acara audiensi dengan kedua calon mempelai bertempat di bangunan utama Kraton Kilen. Reaksi pertama Mbak Abra dan Mas Noto (panggilan akrab keduanya) ketika melihat kami adalah: “Kok pada rapi-rapi begini? Dandan dari jam berapa? Hahaha,” dan “Kami ndak tahu kalau kalian dandan begini, takpikir acaranya kan santai aja. Jadi, ini kami berdua yang salah kostum ya? Hahaha.” Iya itu lucu banget..buat mereka. Kami juga ikut ketawa kok, tertawa getir.

Setelah audiensi, kami ada sesi foto bersama Mbak Abra dan Mas Noto. Karena manusianya banyak dan frame kameranya terbatas, jadi harus mengatur posisi dulu. Pengaturan posisinya sebenarnya tidak ribet. Terasa ribet karena kami pakai kain jarik, jadi kalau mau jalan pindah posisi agak susah jalannya. Saat itu saya sudah menempatkan diri di sisi pojok kiri, eh ternyata saya tidak masuk frame. Saya disuruh pindah pojok kanan biar seimbang. Sudah susah jalan ke pojok kanan, Mas Noto nyeletuk, “Eh eh, Mbak, pindah lagi sebelah sini!” Semuannnyah tertawa. Luuucuk. Untung saya ngefans sama Mas Noto, jadi mau di-bully  saya juga ikhlas :’)

Di sana kami juga sudah disediakan kudapan. Saya suka dengan kudapan yang disajikan di Kraton. Selain enak dan boleh ambil sesuka hati, kudapan di sana modelnya ’sekali hap’, bentuknya lucu-lucu, dan warna-warni. Hehehe..udik 

Tiba saatnya kami site visit untuk kedua kalinya. Kami jalan-jalan keliling Kraton dibimbing oleh Mas Bim. Hari itu hari Sabtu, Kraton sedang lumayan ramai wisatawan. Memasuki komplek utama Kraton, kami fix jadi tontonan. Gimana ndak mau jadi tontonan? Segerombolan abdi dalem abal-abal, jalan berbaris bertelanjang kaki keliling Kraton. Kami jadi objek foto para bule di sana. Ndak apalah, enggak tiap hari ini -.-
Siang itu, ternyata ada kejutan. Salah satu stasiun tv swasta yang jadi official media nya Kraton Wedding sedang syuting semacam variety show. Entah karena ‘mumpung’ atau memang sudah ada perjanjian sebelumnya, kami serombongan diminta ikut syuting. Senang? Enggak. Kami jadi semacam talent dadakan yang diminta ikut kesana kemari, menjawab pertanyaan dari host, mengikuti instruksi dari kru tv itu, dan harus rela nunggu host kalau harus take ulang berkali-kali. Syuting itu capek, makanya saya ndak mau jadi artis *kayak laku jadi artis aja*. Jadi talent gratisan begitu aja saya ndak kuat. Ndak kuatnya adalah melihat tingkah host nya yang heboh, pecicilan, dan bahasa Indonesianya pakai dibikin logat Jawa tapi fail. Saya juga kasihan dengan Mas Bim yang harus mengulang menjawab pertanyaan yang sama gara-gara host nya salah omong terus. Sabar ya Mas Bim..

Saya dan beberapa teman lainnya sempat dheprokan (duduk di lantai/tanah sekenanya) saat di Ksatriyan. Kami capek ngikutin host beserta kru nya mondar-mandir, pengen duduk sebentaaar aja. Akhirnya di Ksatriyan itu juga, syuting berakhir. Begitu host nya take segmen closing, itu rasanya beban sanggul ini berkurang separonya. Ciyus.

Kurang lebih satu jam kami jadi korban di syuting itu. Sebenarnya saya dan beberapa teman tim ada yang kena shoot kamera, numpang eksis di tipi, tapi sayangnya saat hari penayangan saya ndak lihat karena acaranya pagi dan saya bangun kesiangan..haha. Hikmahnya dari kejadian itu adalah *tsahh*, anggap ini pemanasan merasakan pakai sanggul berikut kostum abdi dalem seharian penuh.

Hari itu berakhir di rumah Bu Anik. Sanggul dan muka sudah sama-sama acak-acakan. Setelah lepas kostum, kami disuguhi minuman oleh Bu Anik. Baik ya Bu Anik. Sembari istirahat, kami ngobrol kesana-kemari, uh, nggosip ciyn! Seru pokoknya. Selain nggosip, kami juga membahas agenda selanjutnya: nyekar atau ziarah ke makam para leluhur Kraton keesokan harinya. Mbak Sarah menunjuk Desti sebagai penanggungjawab tulisan, tapi saya juga ikut liputan untuk menemani Desti.


Bagaimana kami melaksanakan misi nyekar? Kemana tempat tujuan kami? Apa yang terjadi di tempat itu? Tunggu di part berikutnya yaa :D

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe