Selasa, 8 Oktober 2013
Hari itu adalah hari pertama kami, ah lebih tepatnya saya, Farid, dan Praend menginjakkan kaki ke Kraton dalam misi spektakuler ini *lebay*. Mbak Sarah, Mbak Lynda, dan Desti sudah lebih dahulu menjamah Kraton dan seisinya beberapa minggu sebelum kami. Disepakati meeting jam 9 pagi di Kraton Kilen. Tujuan meeting ini untuk berkenalan secara resmi dengan staf-staf Kraton yang akan berkoordinasi dengan kami selama acara nanti.
Halo, ini awal cerita pengalaman saya blusukan inside The Royal Palace, menjadi bagian dari peristiwa budaya yang agung: Dhaup Ageng atau Royal Wedding alias pernikahan putri keempat Sultan HB X.
Buka*
Best moment di tahun 2013 yang lain adalah ketika saya mengikuti mata kuliah Sanggar Sastra Jawa. Mata kuliah ini mengharuskan, kami, mahasiswa membuat suatu pertunjukan semacam drama musikal. Proyek ini dilaksanakan oleh empat kelas dalam satu angkatan. Pertunjukan ini nantinya akan dipentaskan secara bergantian. Karena ini mata kuliah, tentu goal nya adalah nilai. Ya, nilai. Meskipun ini proyek kelas, nilai juga tidak bisa dipukul rata. Tetap tergantung kemampuan masing-masing dalam menjalankan peran.
Waktu itu, sekitar akhir Januari 2013 dimulai pembentukan panitia untuk Sanggar Sastra Jawa. Selain itu juga ada casting untuk pemain teater dan pengrawit alias pemain gamelan. Saya sendiri dalam kepanitiaan dapat jatah jadi PDD. Entahlah, sepertinya saya sudah diketok palu untuk jadi PDD di acara apapun. Ya sudahlah, PDD memang mendarah daging dalam diri sayahhh~
Para pemain telah ditentukan dengan casting. Saya tidak termasuk dalam jajaran para pemain itu. Tidak berminat saya coba-coba ke situ. Mau dapat peran apa saya di panggung? Pohon-pohonan? -.-
Saat itu, saya hanya berpikir menjadi orang di balik panggung yang akan mengatur setting, properti, atau kostum. Ternyata, Tuhan berkehendak lain *tsaahh*. Saya akhirnya tergabung dalam tim iringan alias pengrawit yang membuat bunyi-bunyian ketika pertunjukan berlangsung. Pegang alat musik apa? Saya sih maunya pegang tangan Lee Minho aja -.- *Oppaa~ Kyaa!!* *abaikan*
Awalnya saya inginnya pegang saron, kenong, atau kempul juga ndak apa lah yang penting kebagian peran. Ternyata, saya diminta pegang kendhang! Duerrr. Umumnya, yang main kendhang itu cowok. Tapi karena di kelas saya cowoknya hanya enam biji, empat cowok sudah dapat jatah bermain peran. Dua yang lain, satu di perlengkapan, satu penabuh gong. Oke. I have no choice.
Saya dihadang keragu-raguan. Permainan kendhang saya pas-pasan. Pas semrawut nya. Kalau dalam band, kendhang itu ibaratnya beat maker alias drum. Lagi-lagi saya tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri. Ah, saya kan bisanya hanya gendhing-gendhing yang pakem (fyi, dalam memainkan gamelan ada lagu/gendhingyang sifatnya dasar dan pakem seperti ladrang, lancaran, dan ketawang di mana irama kendhang nya sudah fix tidak bisa berubah).
Saya sempat ingin mundur, sodara. Saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk improvisasi dalam bermain kendhang. Tidak mungkin dalam pertunjukan nanti pakai irama gendhing yang pakem. Bakalan garing nanti. Kemudian saya merenung *cie galau*. Saya berpikir, kalau saya tidak main kendhang saya mau ngapain? Apa iya aku mau di belakang layar terus? Sekali-kali lah tampil. Akhirnya, saya memberanikan diri meskipun saya tidak tahu akan menggarap iringan yang seperti apa nantinya. Di situlah poinnya: saya keluar dari zona nyaman.
Hari berganti, naskah sudah fix tinggal iringan yang menyesuaikan. Waktu itu, tim pengrawit buta dalam menggarap iringan. Ada beberapa teman yang memang aktif bermain gamelan di UKM, tapi ternyata itu tidak cukup untuk mengarahkan tim kami menggarap iringan. Koordinator pengrawit pun akhirnya meminta bantuan dosen seni karawitan kami. Dosen tersebut suka dipanggil dengan sebutan Mas Kisno. Akhirnya kami berguru pada Mas Kisno.
Jika para aktor bisa latihan di mana saja, pengrawit puyeng memikirkan tempat latihan. Kalau anak band gitu ya, sewa studio banyak. Pengrawit? Kelaut aja udah..sama Nyi Roro Kidul -.-
Di kampus memang tersedia laboraturium karawitan. Tapi lab tersebut hanya boleh dipakai saat jam kuliah saja. Nah, untuk memenuhi target pertunjukan, dibutuhkan tempat latihan lain yang bisa dipakai kapanpun. Cari info sana sini, akhirnya kami latihan di lima tempat yang dalam seminggu berpindah pindah tidak menentu. Puyeng nggak tuh.
Tempat latihan pertama lab karawitan atas yang memang jatah kami kuliah di sana. Tempat kedua, lab karawitan bawah, itu kami pakai ketika sudah mendekati D-day, dengan sedikit perjuangan rebutan sama kelas lain. Tempat ketiga, lab karawitan baru di gedung akademik yang tempatnya masih acak-acakan dan instrument gamelannya meskipun baru bunyinya agak tidak beres. Tempat keempat, di rumah salah satu warga di daerah Janti. Terakhir, Balai Budaya Minomartani, tempat ini yang paling kece dibanding yang lain.
Berbagai halangan menghadang para pengrawit. Jenuh saat latihan, capek karena memang bersamaan dengan micro-teaching, ada saja alasan untuk menghindar dari latihan. Saya pun begitu, suka telat kalau latihan, padahal kalau kendhang tidak main, jadi susah menentukan beat nya. Waktu latihan di Janti, kami sempat kebasahan karena tempat latihannya bocor saat hujan, macam air terjun Niagara *ini lebay*. Tapi serius, bocornya ndak cuma tetes-tetes tapi nggrojog (deras). Karena bocor, kami mlipir-mlipir (menepi) di pinggir-pinggir yang tidak basah. Habis hujan reda, kami bantu yang punya rumah buat ngepel yang banjir kena bocor tadi. Apa banget gitu ya sampai ngepel rumah orang -.-
Saya sendiri sebelumnya masih meraba-raba irama iringan yang akan kami garap. Saya tidak paham bagaimana irama saat opening, closing, ganti adegan, dan sebagainya. Mas Kisno mengarahkan kami dalam menggarap iringan. Hampir semua irama yang dipakai adalah irama garapan alias tidak pakem. Belum lagi dalam naskah ada adegan di mana si tokoh utama menari Ronggeng. Sudah lah saya tamat aja gimana? -.-
Untuk iringan Ronggeng, saya fix tidak sanggup. Tahu kan joget Ronggeng seperti apa? Bayangkan jika saya menabuh kendhang disesuaikan dengan gerakan meliuk-liuk penarinya? Akhirnya, saya dibantu oleh additional player *berasa anak band banget yak* anak jurusan seni tari. Dia lakik tapi bisa menari dan main kendhang. Aseek, saya tidak perlu ngamen~
Iringan lainnya saya tidak begitu terkendala memainkannya. Justru ternyata lebih mudah daripada ketika main gendhing yang pakem. Saya suka iringan ketika adegan si tokoh antagonis sedang mabuk. Iramanya seperti irama pendekar mabuk dari Cina itu..lucuk. Selain itu, ada irama yang agak nyerempet beat tarian salsa. Itu juga lucuk. Ah pokoknya lucu-lucu musik garapannya >.<
Karena keseringan main kendhang, telapak tangan dan jari-jari saya sempat kapalan. Kasar seperti tangan kuli. Saya juga sempat demam dua hari karena mungkin stress menjelang pentas. Tapi saya senang, karena saya dipercaya jadi leader. Dalam karawitan, yang jadi leader itu bisa pemain bonang barung atau kendhang. Mereka yang menentukan kapan musik dimulai.
Saat hari pementasan tiba, deg-degan itu pasti. Saya yang tidak pernah manggung sebelumnya, nervous bukan main. Takut salah memulai, takut salah kasih aba-aba. Tapi itu bisa kuatasi dengan cukup baik. Sayangnya, dan untungnya juga, pemain gamelan itu tidak kelihatan. Maksudnya, yang kena sorot lampu ya para aktor di panggung. Para pemain gamelan posisinya seperti penonton saja. Ya kurang lebih seperti OVJ itulah posisinya.
Saya senang karena pentas berlangsung dengan baik dan lancar. Senangnya lagi Ibuk dan kakakku datang menonton. Oya, pementasan kami sifatnya terbuka, siapapun boleh nonton, dan gratis.
Dari momen pentas ini saja, banyak pelajaran yang dapat diambil. Mulai dari menumbuhkan rasa percaya diri, kerjasama, semangat, kekompakan, dan saling percaya satu sama lain. Selama proses itu, saya suka nonton video manggungnya si Kyuhyun SJ. Lah, kok jadi K-Pop? Jadi, supaya semangat manggung, saya lihat Kyuhyun saat menyanyi solo. Di acara itu, dia ditonton oleh kedua orangtuanya. Poinnya, saya pengen tampil kece di depan orang tua supaya mereka bangga :’). Ya seperti Kyuhyun, walaupun saya tidak menyanyi, tapi menabuh kendhang.
Itulah salah satu momen terbaik saya di tahun 2013 kemarin.
Suwuk**
*Aba-aba untuk memulai gendhing gamelan
**Aba-aba untuk mengakhiri gendhing gamelan
In
hand-arts,
life
Mikroticing
Awal tahun 2013 yang lalu dimulai dengan persiapan KKN-PPL. Salah satu persiapannya adalah micro-teaching, mata kuliah wajib sebelum melaksanakan PPL. Saya merasa tidak siap untuk menghadapi fase itu. Terbayang kelas micro-teaching, di mana saya harus pura-pura jadi guru mengajar teman sendiri. Bagi saya itu menakutkan. Mau tidak mau juga saya harus bisa melewatinya. Pokoke kudu semangat!
Saya benar-benar harus berusaha keras mengumpulkan kepercayadirian untuk kelas itu. Saya sadar betul tidak biasa berbicara di depan orang banyak. Kelas inilah yang memaksa saya untuk melakukan sebaliknya. Setiap tiba esok hari giliran mengajar, malamnya selalu gelisah. Meski rencana pembelajaran sudah tersusun dengan rapi, materi sudah siap, tetap saja grogi setengah mati. Belum lagi kawan-kawan satu kelas yang beberapa yah..let’s say tidak ramah. Dosen pembimbingnya juga bisa dibilang agak killer. Tapi saya lebih suka menggunakan kata ‘tegas’, kata killer terdengar kasar. Semua itu membuat saya serasa kena skak-mat.
Begitu tiba hari Selasa, dresscode saya adalah kemeja putih, jilbab hitam, rok hitam panjang, dan sepatu hitam berhak agak tinggi macam mbak-mbak sales. Saya dulu suka ngetawain kakak-kakak angkatan yang pada pakai outfit itu, eh akhirnya saya seperti mereka juga.
Saya masuk kelas micro-teaching selalu dengan hati gelisah. Meski hari itu bukan giliran saya maju praktik, tetap saja rasanya gelisah. Saya selalu memilih duduk di belakang sendiri ketika sedang tidak praktik saking tidak pedenya. Suka minder tiap lihat penampilan teman yang sedang praktik, mereka sedikit groginya. Ya itulah, segalanya tampak lebih keren ketika itu terjadi pada orang lain. Tapi saya berusaha menguatkan hati, meyakinkan diri, saya juga akan tampil keren.
Tiba suatu hari giliran saya praktik. Saya harus tampil keren. Saya memilih materi nembang atau menyanyikan syair-syair macapat. Bagi kawan yang lain, materi ini adalah momok. Bagi saya, ini akan jadi awal yang baik. Meski saya tidak pandai nembang dan suara saya pas-pasan, setidaknya saya bisa membaca titilaras atau notasi tembang dengan tepat. Saya juga mempersiapkan media pembelajaran tidak dengan asal-asalan. Meskipun akhirnya media yang saya buat mendapat kritik dari dosen. Tidak masalah bagiku, yang penting aku tidak asal-asalan.
Entah mengapa saya merasa percaya diri dengan materi ini. Itu mungkin karena tembang nya masih yang level gampang. Iya sih lumayan pendek dan tidak ada cengkok yang berbelit-belit, jadi saya gampang juga melagukannya. Huft. Setidaknya itu awal yang cukup baik untuk memompa kepercayadirian saya di praktik-praktik berikutnya.
Satu pesan dari dosen pembimbing micro-teaching saya yang saya ingat sampai saat ini, “Aja ngangen-angen biji, sing penting apa sing tok lakoni kuwi dilakoni kanthi tenanan. Biji kuwi gari melu.” Yang artinya: Jangan berharap nilai yang baik, yang penting berusaha sebaik mungkin, kalau usaha baik hasilnya pasti baik. Ah, I love you Prof Endang. Sejak dari awal saya memang tidak berharap dapat nilai bagus untuk mata kuliah ini. Itu mungkin juga karena saya agak pesimis dan tidak pede dengan kemampuan sendiri. Tapi semakin dijalani, semakin terasa bahwa saya memang harus berusaha.
Praktik pertama, kedua masih terbilang parah meski materinya cukup saya kuasai. Rasa grogi lah yang belum bisa saya kendalikan dengan baik. Adaa aja sikap saya macam betul-betulin jilbab padahal ndak perlu dibetulin, omong masih kebanyakan aaa eee aaa eee, dan salah memilih kosakata (fyi, karena saya mengajar bahasa daerah—Jawa—maka saya harus menggunakan bahasa Jawa ragam halus/formal atau krama dalam mengajar, which is saya suka keceplosan pakai ragam ngoko/informal).
Hingga akhirnya saya berhasil membabat kurang lebih 6 kali praktik termasuk ujian. Lega bukan main ketika mata kuliah itu tamat. Rasanya ingin salto-salto ke udara *emang bisa?*. Nilai yang saya dapat yaa lumayanlah, lulus lisensi. Ini belum berakhir, justru baru akan dimulai. Kalau micro-teaching mengajar teman sendiri, nanti di PPL saya akan berhadapan dengan murid-murid sungguhan. Membayangkan PPL membuat rasa percaya diri turun lagi. Ah, sudahlah itu masih lama, nanti di bulan Juli.