Racau
Desember 24, 2016
Obrolan
tentang kopi, kucing, juga nasi kucing menemaniku dini hari itu. Di lantai dua,
di sebuah lorong kecil dilengkapi dengan tirai dan dua tingkat loker penyimpan
barang. Sebuah matras digelar di lantai, berjajar dengan tikar yang sudah
tergelar lebih dulu. Lebih banyak diam, membisikkan doa dalam hati, atau
membaca kitab suci. Dalam diam aku serupa orang linglung, pikiran melayang ke
segala arah tak karuan.
“Ibuk
membaik kok, kondisinya bagus. Berpikir positif terus, ya.”
Mbak
Dian, perempuan tomboy yang tidak sedikitpun membiarkanku larut dalam pikiran
kosong. Kami baru berkenalan sore hari sebelumnya. Dia lebih dulu berada di
lorong kecil bersama tiga orang lainnya. Sudah
lewat pukul satu dini hari. Pintu abu-abu berkaca blur terbuka dari dalam. Seorang
perawat mengisyaratkan aku untuk masuk ruangan.
“Kondisinya
menurun, Mbak,” tuturnya sembari menuntunku menuju ranjang tempat wanitaku
terbaring.
Seorang dokter jaga sedang memacu detak jantung wanitaku. Aku mendekati
wanitaku. Kuraih tangannya. Dingin. Kuusap keningnya kemudian kuciuminya. Kubisikkan
doa-doa di telinganya. Aku masih linglung. Seperti orang bodoh. Pikiran melayang
ke manapun sesukanya. Sampai air mata jatuh pun enggan. Seperti mimpi.
“Syukurlah,
Mbak. Sudah stabil. Boleh keluar sekarang, Mbaknya istirahat ya,” kata dokter
padaku.
Ah, syukurlah, terima kasih Tuhan, terima kasih, Buk.. bertahanlah,
Ibukku, wanita kuatku.
“Baik-baik
aja, kan, Ibuk?” Mbak Dian menyambut di balik pintu. Kujawab dengan senyum
tipis disertai anggukan.
Pukul
tiga dini hari. Kembali aku mengobrol tentang apapun dengan Mbak Dian untuk
mengusir pikiran buruk.
“Aku
dibangunin ya, empat tiga puluh, udah berat banget ini mata,” Mbak Dian pamit
tidur.
Kubuka kembali kitab suci. Kubaca perlahan. Air mata mulai turun. Ah,
anak macam apa kamu ini, cengeng!
Adzan
subuh berkumandang. Aku masih terjaga. Kubangunkan Mbak Dian juga Om Agus untuk
menuju masjid. Tumpah air mata dalam sujud-sujudku. Segala pinta, doa,
permohonan untuk wanitaku. Tuhan, tolong lipatgandakan kekuatan wanitaku.
Langit
semakin terang. Kantuk mulai menyerang.
“Mbak,
aku tidur sebentar ya, mulai ngantuk,” ujarku pada Mbak Dian.
“Iya,
istirahat dulu. Ibuk baik-baik saja kan? Kamu yang tenang aja,” Mbak Dian
tersenyum.
Tak
sampai pejam benar mataku. Sesekali terbangun. Melirik waktu, ternyata aku
hanya terpejam barang sepuluh menit. Kurapatkan jaket yang kukenakan. Mencoba kembali
untuk terpejam.
“Dek,
bangun, dipanggil perawat!”
Mbak Dian juga seorang ibu yang sedang duduk di
sebelahku membangunkanku. Aku terbangun dengan kaget. Berusaha berdiri, sedikit
terhuyung karena belum terjaga betul. Memasuki kembali ruangan bertirai
bersekat-sekat itu. Suara berbagai macam monitor begitu riuh.
Aku lihat
banyak perawat juga dokter mengelilingi ranjang wanitaku.
“Melemah
lagi, Mbak. Doanya jangan berhenti ya. Mamanya didampingi,” ucap seorang
perawat padaku.
***
Anak
bodoh itu hanya bisa mematung. Terbata mengucap doa di telinga ibunya. Tenggorokannya
tercekat. Gemetar tangan mengusap dahi ibunya. Sementara yang lain berusaha
keras. Dokter, perawat, juga seorang bapak juru doa. Kemudian anak bodoh itu
gemetar hebat. Tubuhnya menggigil tak mampu lagi membisikkan doa dan mengusap
kepala ibunya. Dia pengecut, tak mau berjuang bersama ibunya.
Anak
bodoh itu terjongkok di depan pintu. Seperti orang gila. Berantakan.
5:55
pagi
“Ibumu
sudah sowan Gusti Allah, sing sabar ya,” Om Agus menghampiri anak
bodoh yang masih berjongkok di depan pintu sembari mengelus kepala anak itu.
Innalillahi wa innailaihi raji’uun
Anak
bodoh itu tetap saja bodoh. Mematung. Tak setitikpun air mata keluar. Si bodoh
ini berlagak kuat. Ia kabari satu persatu saudaranya dengan nada suara yang
seolah menguatkan. Padahal ia pengecut dan pura-pura. Sepanjang sisa hari itu,
anak bodoh itu berlagak kuat. Ia peluk bapaknya, ia tegarkan hati bapaknya,
adiknya, kakaknya, kerabat-kerabatnya. Si bodoh memasang topengnya selama acara
pemakaman. Tak nampak tangisnya.
Biarlah
si bodoh itu menikmati hasil kebodohannya kelak. Karena ia lihai dalam
berpura-pura. Sampai ia lupa bahwa ia sedang pura-pura.
Setahun
berlalu. Si bodoh tersadar. Hatinya tak tahu caranya jujur. Dia selalu gagal
mengungkapkan perasaannya. Dia punya seribu topeng untuk membuatnya tampak baik
padahal dia bodoh. Dia telan sendiri kebodohan dan kepura-puraan yang ia
jadikan tamengnya. Si bodoh yang malang.
***
Teruntuk Ibuk,
Tak dapat aku rangkai kata-kata indah untukmu. Juga bunga-bunga melati itu, tak dapat aku persembahkan untukmu.
Wanita kuatku,
berbahagialah di sana. Tak lagi perlu kau khawatirkan anak perempuanmu yang ketus, keras kepala dan pelit senyum ini. Biar dia rasakan sendiri beratnya hidup tanpa adanya dirimu juga mustajabnya doa-doamu. Biar dia berjuang sendiri menemukan dirinya. Biar dia rasakan sendiri menentukan pilihan-pilihan hidup yang kini membuatnya bingung. Biarkan dia mendewasa tanpamu.
Karena Ibuk tau kamu mampu, Ndhuk. Ingat Ibuk selalu. Ibuk tak pernah membencimu, apalagi menyalahkanmu. Kamu anak kuat, Ndhuk.
Jika benar itu jawabanmu, Buk. Maka runtuhlah aku.
Ah Ibuk, aku selalu kehabisan kata untukmu. Pelit mengungkapkan perasaan padamu. Dia hanya bisa menyelipkan namamu, juga keinginan atasmu sebelum amin-nya. Dia begitu pendiamnya. Sunyi dan sepi dia kawani dia kencani.
Buk, aku rindu melihatmu tertawa.
rindu melihatmu mengenakan terusan hijau muda motif bunga
karena sungguh saat kau mengenakannya, kau terlihat begitu cantik
Aku rindu kau bonceng di atas sepeda motormu
Aku rindu jajan bakmi Jawa di warung kesukaanmu bersamamu
Aku rindu senyummu
Aku rindu segalanya tentangmu
Sehingga yang tercipta hanya racau galau
Ibuk, wanita kuatku, aku menyayangimu.
Selalu.
0 komentar