Isi Kotak Ajaib Part 2: Cerpen

Januari 18, 2012

Ini adalah isi kotak ajaib kedua. Sebuah naskah cerpen yang saya buat ketika masih duduk di bangku SMP. Cerpen ini awalnya merupakan tugas dari ibu guru. Waktu itu ibu guru menginginkan muridnya membuat cerpen berdasarkan kisah nyata/pengalaman pribadi. Bagaimana isi cerpennya? Simak ceritanya berikut....


TRAGEDI SIANG BOLONG

Hari Sabtu. Tidak ada apa-apa. Biasa saja. Hanya pergi ke sekolah seperti biasanya dan berharap menjadi anak yang rajin, duduk dengan manis mendengarkan Bapak atau Ibu Guru mengajar. Juga dengan teman-teman yang itu-itu saja. Memang benar mereka begitu-begitu saja, tidak berubah menjadi badut sirkus yang dapat menghiburku. Tapi mereka cukup meredam kebosananku.

"Li, kamu ada KIP nggak nanti pulang sekolah?" itu suara Kiki teman sebangkuku. Kalau boleh kugambarkan, Kiki itu orangnya kecil, kurus, berkacamata, dan kalau berpakaian tidak pernah rapi.

"Apa?" tanyaku pura-pura tidak mendengar.
"Idiiih, H-A-R-I I-N-I K-A-M-U K-I-R nggak?!" Dia jengkel dan mencubitku dengan keras.

"Aduuh! Sakit tau!!"
"Habis kamu nggak dengerin aku ngomong sih!"
"Ya maap. Ada."
"Kok gitu sih sih?"
"Ya ada kan, memang ada KIR. Kan udah dijawab, kok sewot."
"Tapi dijawabnya kok cuek gitu?!"
"Hhhhmmm...." Aku menekuni buku tulisku dan mulai mencatat apa yang diterangkan Pak Guru di depan kelas tadi (aku benar-benar ingin menjadi anak rajin).

"Iihh! Gitu ya?!"
"Ya gitu."
"Aaaaahh! Ya udah kalo kamu cuek aku juga cuekin kamu!"
"Eh..eh nggak-nggak, iya aku nggak cuek lagi. Maapin-maapin."

Terang saja aku tidak mau menanggung kemarahan Kiki terlalu lama. Asal tahu saja, dia pernah puasa berbicara padaku selama satu minggu berturut-turut.

"Mel, Mel, kamu udah ngerjain laporan karya ilmiah belum?"
Kalau yang itu suaranya Anggi. Dia mirip Kiki tetapi lebih rapi dan tidak cuek.

"Udah." singkat jawabku.
"Tentang apa?" penasaran.
"HIV AIDS." masih singkat.
"Boleh liat?" menatapku dengan aneh.
"Boleh." lagi-lagi singkat.
"..........." Anggi diam menekuni karya ilmiahku.
"Nanti bareng ya ngumpulinnya." sudah selesai membaca.
"Ya." tanpa minat. Anggi yang melihat kelakuanku karuan saja geleng kepala.



Istirahat kedua, sehabis sholat dhuhur berjamaah. Aku masih bisan. Tapi bosanku lain, aku masih bisa menangkap pelajaran yang diberikan. Padahal biasanya otakku langsung blank layaknya toples krupuk kosong di warung karena isinya sudah terjual habis, kalau sedang bosan.

"Mau ini nggak Li? Kiki mengangsurkan gorengan di depan wajahku.
"Boleh. Gratis kan?"
"Nggak! Bayar dulu sini seratus ribu."
"What? Bayar?"
"Ya enggak lah, nih gratis limited edition. Nggak ada yang jual lagi."
"Jelas nggak ada yang jual, kamu kan belinya kebagian koretan sama remukan thok kan?"
"Busseet dah, udah dikasih masih aja ngoceh!"
"Iya, iya, makasih ya."

Sedikit canda memang perlu bagiku. Kiki memang baik. Tak lama, sesosok yang sudah tak asing lagi tampak di amabang pintu kelasku. Ooouugghh...dia mengagumkan. Aku tidak pernah melewatkan kesempatan juka aku melihatnya. Tahu kan maksudnya? Curi-curi pandang tapi tanpa cari perhatian, itu semboyanku.

"Li..li..li! Itu tuh!" Kiki menunjuk orang itu.
"Hus! Jangan tunjuk-tunjuk!" Aku menepis tangan Kiki yang dengan pede-nya menunjuk ke arah orang itu. Bu Guru sudah masuk kelas, saatnya menjadi anak yang rajin dan jangan berpikir macam-macam.


Pulang sekolah. Pukul satu siang. Panas sekali, aku harus menju unit dua untuk mengumpulkan tugas karya ilmiahku tadi. Aku harus buru-buru, tapi aku tidak tahu mengapa aku harus buru-buru. Padahal ekstrakurikulernya saja baru dimulai jam dua. Bahkan aku tadi sudah mengiyakan ajakan Anggi untuk bersama-sama mengumpulkan tugas, dan dia kutinggal begitu saja. Sebenarnya aku mau nanti-nanti saja menuju unit dua, karena udara di luar panas sekali. Dengan berat hati tetapi bersemangat aku berjalan menuju unit dua.

Masih sepi, kakak-kakak kelas tiga sudah banyak yang pulang. Hanya beberapa siswa dan siswi masih berseliweran mencari Bapak atau Ibu Guru untuk mengumpulkan tugas. Ada juga beberapa kakak kelas yang masih mengobrol dengan salah seorang guru pembimbing ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja. Tapi anehnya tujuanku seolah berubah tidak jadi mengumpulkan karya ilmiah tetapi berniat menunggu seseorang. Aku mondar-mandir seperti setrikaan tidak jelas. Salah seorang guru menegurku,

"Sini duduk sini, dari tadi kok mondar-mandir nunggu siapa?"
"Nggak Bu, makasih, nggak tau nunggu siapa ini." Aku tidak berbohong, karena benar aku benar-benar tidak tahu siapa yang kutunggu. Suasana unti dua mulai sepi, dan aku masih mondar-mandir sendiri. Aku memutuskan untuk membeli permen terlebih dahulu di warung depan unit dua untuk meredam kebosananku. Masih panas, sepertinya awan tidak ada yang bisa meredam cahaya matahari yang ganas.

"Lima ratus." ucap Ibu penjaga warung.
"Makasih Bu." Aku berterimakasih seraya mengangsurkan sekeping uang logam lima ratusan rupiah kepada Ibu penjaga warung.
Begitu keluar dari warung, aku melihat sesosok 'dia' sebut saja X. X berasama temannya. Spontan aku menyapa, tepatnya memanggil.

"X (nama samaran)." Dia masih tidak mendengar. Mungkin sekali lagi.
"X!" Yes! Dia menengok kepadaku.
"Apa?" Ooouuughh...suaranya....cempreng.
"Sini." Ups! Apa yang kamu lakukan Meli?!
"Apa?" Si X sudah terlanjur mendekat dan wajahnya terlihat penasaran.
"Mmmm...nggak jadi." Bodohnya diriku. Terlambat untuk mengatakan tidak jadi.
"Apa sih? Cepet dong." Cepet? Aku saja tidak tahu aku mau mengucapkan apa.

"Aku suka sama kamu." DUUUAAARRR!!

Apa yang kulakukan adalah hal yang paling bodoh sedunia, paling tidak patut dicontoh, paling memalukan, merendahkan martabat seorang Meli di depan Si X tadi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang jelas aku ingin menampar mulutku sendiri. Aku berlari masuk pintu gerbang dan berharap Si X tadi terserang amnesia mendadak sehingga melupkanan kejadian tadi atau aku bisa menghilang secara otomatis bila melihat Si X.

Tapi aku kagum dengan perbuatanku tadi. itu hak asasi setiap manusia, menyampaikan pendapat. Dan itu juga termasuk emansipasi wanita. Coba tilik saja, mana ada seorang perempuan menyatakan perasaannya kepada seorang laki-laki tanpa ditemani perempuan lain alias temannya. Kalau ada pun masih bisa dihitung dengan jari. Butuh nyali yang besar untuk bisa melakukan itu. Aku bangga sekaligus tidak percaya bahwa Meli yang tadi itu adalah Meli yang terlalu percaya diri di hadapan Si X.

Semua cerita pasti berujung pada kebahagiaan. Seperti Cinderella yang akhirnya menikah dengan pangeran tampan. Atau Putri Salju. Tapi kisah Meli berujung kegagalan dan si tokoh yang asli menjadi strs berhari-hari karena memikirnkan tindakannya yang bodoh itu. Tugas karya ilmiahku salah besar dan mesti mulai dari nol lagi, kedua aggota kelompokku tidak berangkat mengikuti kegiatan KIR itu berarti satu orang menanggung kesalahan tiga orang, yang terakhir aku masi pening gara-gara kejadian itu. Tripel pusingnya deh. Tidak akan pernah terlupa sampai kapanpun. Tapi aku masih suka dengan Si X hingg sekarang.

TAMAT


Begitulah teman kiranya isi cerpen itu. Begitu polos dan lugu... :3
Tokoh yang ada di atas Meli adalah saya, Kiki adalah Kiki, Anggi adalah Anggra, X adalah...rahasia :p (sms saya, nanti saya kasih tau :p)
Yang jelas saat ini saya masih berhubungan baik dengan Si X meskipun jarang bertemu.

Ndak usah dikritik cerpennya, bahasanya amburadul. Dari situ saya menyadari betapa baiknya Ibu Guru Bahasa Indonesiaku memberikan nilai 90 untuk cerpen absurd seperti itu.. :'D

Mungkin orang beranggapan cerpen itu 'sampah', tapi buatku cerpen itu sejarah. Sejarah hidupku *ciadoww*

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe