엄마 (Mom)

Desember 23, 2013



Petang kemarin, aku mendapat kabar dari salah seorang sahabatku, Dila. Dia mengirimiku pesan singkat berisi berita duka. Ibundanya berpulang ke sisi-Nya. Kaget dan syok sudah pasti. Bodohnya adalah, awalnya aku tidak langsung menangkap isi pesan singkat Dila itu. Kupikir dia salah kirim sms. Itu karena aku salah mencerna kalimat yang dituliskannya di pesan singkat. Nama ibunda Dila yang dia tuliskan di pesan singkat, kukira nama teman Dila. Dari situ aku mengira pesan singkat itu salah kirim. Sampai-sampai aku membalas pesan singkat itu dengan menyebut nama itu diikuti tanda tanya di belakang nama. Dila membalasnya dengan: Ibuku, Meng. Langsung hati ini rasanya mencelos, penuh rasa bersalah.


Rasa bersalahku tidak berhenti di situ. Dua minggu yang lalu kurang lebih, kami bertemu. Dila lolos seleksi tahap kedua untuk pekerjaannya. Dia berangkat jauh-jauh dari rumahnya di Klaten menuju Jogja untuk melihat pengumuman tes tahap selanjutnya. Dia memintaku menemaninya. Setelah itu, kami mengobrol di rumahku. Kami mengobrol banyak hal, maklum, kami sudah lumayan lama tidak bertemu. Dari obrolan itu, tercetus rencana untuk main kerumahnya di Klaten. Kami ingin main kesana dalam rangka perpisahan sahabat kami, Zakia yang akan studi negeri orang mulai awal tahun depan. Kami pun menetapkan tanggal, kapan kami akan pergi bersama kerumah Dila.


Dila mengiming-imingiku banyak hal. Dia akan mengajak kami naik bukit di dekat rumahnya. Dia juga bercerita jika ibundanya punya tempat favorit yang sering dikunjungi tiap akhir pekan. Tempat itu adalah rawa yang kata Dila sangat indah pemandangannya. Dila bilang akan mengajakku dan Zakia kesana.
Nanti aku dan Zakia, bahkan Merie dan Widya akan pergi kerumah Dila. Kami akan pergi kesana, bukan untuk naik bukit ataupun melihat pemandangan rawa yang indah. Kami akan mengantar ibunda Dila ke tempat peristirahatan terakhir beliau.


Belum habis rasa bersalahku, aku bahkan akan memberitahu bahwa tadinya aku akan membatalkan ikut main kerumahnya karena kepentingan lain. Tapi ternyata aku memang harus kerumahnya. Aku harus kerumahnya berhadapan dengan suasana duka cita.

Di lain sisi, saat aku menerima kabar duka cita itu, aku sedang pergi bersama ibuku. Seketika aku memandangi ibuku yang sedang asik melihat-lihat barang-barang di toko, setelah membaca pesan singkat dari Dila tadi. Pikiranku secara otomatis mengandaikan, bagaimana jika itu terjadi padaku? Tuhan..tidak, jangan sekarang. Aku belum melakukan sesuatu untuk membahagiakan dan membanggakan ibu.
Dila, dia sudah menyelesaikan pendidikan tingginya. Dia tinggal selangkah lagi menuju pekerjaannya. Ibundanya pasti merasa bahagia dan bangga kepadanya. Dila, dia anak perempuan yang baik dan mandiri. Dia dididik dengan keras oleh ibu dan ayahnya sehingga dia mampu mencapai dirinya yang sekarang.


Aku? Kerjaannya merepotkan ibu. Apa-apa bergantung ibu. Bahkan kemana-mana membonceng ibu. Aku? Anak perempuan ibu yang malas bangun pagi, tak mau pergi ke pasar, malas memasak, bahkan membeli lauk untuk dimakan sendiri saja malas. Ah, aku benar-benar tidak siap jika apa yang menimpa Dila itu menimpaku di saat aku seperti ini.
Ibu. Tidak akan ada habisnya jika membahas sosok ibu. Ibuku seorang guru sekolah dasar bersama bapakku memeras keringat memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya. Ibuku, menjadi guru les privat kesana-kemari supaya aku dan kakakku bisa minum susu tiap hari. Ibuku, sempat mengajar anak jalanan di sore hari setelah mengajar murid di sekolah, membagi ilmu tanpa pilih kasih. Ibuku, tempat aku merengek dibelikan boneka padahal aku sudah berumur 17 tahun. Ibuku, yang mengantar-jemputku ke kampus ketika ospek, padahal aku bisa saja berangkat sendiri. Ibuku, yang memberiku hadiah kasur busa baru di hari ulang tahunnya, sementara aku sibuk mencari kado untuk orang lain. Ibuku, yang tak suka aku bangun kesiangan, tapi aku tidak menghiraukan ketidaksukaannya itu. Ibuku, yang di hari ibu bahkan aku tidak mengucap selamat hari ibu padanya, mengecup pipinya, atau memeluknya. Sementara Dila, di hari ibu, dia harus kehilangan wanita itu selamanya.

Ini semua kesengajaan Tuhan untuk menegurku, aku yang selalu mengabaikan ibu. Bahkan lagu yang diputar di toko tadi menegurku: peliharalah ibadah lima waktumu supaya ibumu bahagia selalu. Tuhan, maafkan aku yang semakin berani melawanmu, meninggalkanmu dengan sengaja. Tuhan, aku percaya cinta kasih-Mu ada di dalam malaikat berkedok wanita bernama ibu. Menyakitinya sama saja aku menyakiti-Mu. Tuhan, beri aku kesempatan membahagiakan wanita jelmaan malaikat itu..sebelum semuanya terlambat dan hanya tersisa penyesalan.

Ibu, anakmu ini sangat menyayangimu..meski tak pernah terucap dengan kata-kata..



Teruntuk Bunda Yudi Astuti (Almh), semoga diampuni segala dosanya, dilapangkan kuburnya, dan diberi tempat yang baik di sisi-Nya. Maaf kami baru bisa ‘mengunjungi’-mu, Bunda..

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe