Mikroticing

Januari 03, 2014



Awal tahun 2013 yang lalu dimulai dengan persiapan KKN-PPL. Salah satu persiapannya adalah micro-teaching, mata kuliah wajib sebelum melaksanakan PPL.  Saya merasa tidak siap untuk menghadapi fase itu. Terbayang kelas micro-teaching, di mana saya harus pura-pura jadi guru mengajar teman sendiri. Bagi saya itu menakutkan. Mau tidak mau juga saya harus bisa melewatinya. Pokoke kudu semangat!


Saya benar-benar harus berusaha keras mengumpulkan kepercayadirian untuk kelas itu. Saya sadar betul tidak biasa berbicara di depan orang banyak. Kelas inilah yang memaksa saya untuk melakukan sebaliknya. Setiap tiba esok hari giliran mengajar, malamnya selalu gelisah. Meski rencana pembelajaran sudah tersusun dengan rapi, materi sudah siap, tetap saja grogi setengah mati. Belum lagi kawan-kawan satu kelas yang beberapa yah..let’s say tidak ramah. Dosen pembimbingnya juga bisa dibilang agak killer. Tapi saya lebih suka menggunakan kata ‘tegas’, kata killer terdengar kasar. Semua itu membuat saya serasa kena skak-mat.


Begitu tiba hari Selasa, dresscode saya adalah kemeja putih, jilbab hitam, rok hitam panjang, dan sepatu hitam berhak agak tinggi macam mbak-mbak sales. Saya dulu suka ngetawain kakak-kakak angkatan yang pada pakai outfit itu, eh akhirnya saya seperti mereka juga.


Saya masuk kelas micro-teaching selalu dengan hati gelisah. Meski hari itu bukan giliran saya maju praktik, tetap saja rasanya gelisah. Saya selalu memilih duduk di belakang sendiri ketika sedang tidak praktik saking tidak pedenya. Suka minder tiap lihat penampilan teman yang sedang praktik, mereka sedikit groginya. Ya itulah, segalanya tampak lebih keren ketika itu terjadi pada orang lain. Tapi saya berusaha menguatkan hati, meyakinkan diri, saya juga akan tampil keren.


Tiba suatu hari giliran saya praktik. Saya harus tampil keren. Saya memilih materi nembang atau menyanyikan syair-syair macapat. Bagi kawan yang lain, materi ini adalah momok. Bagi saya, ini akan jadi awal yang baik. Meski saya tidak pandai nembang dan suara saya pas-pasan, setidaknya saya bisa membaca titilaras atau notasi tembang dengan tepat. Saya juga mempersiapkan media pembelajaran tidak dengan asal-asalan. Meskipun akhirnya media yang saya buat mendapat kritik dari dosen. Tidak masalah bagiku, yang penting aku tidak asal-asalan.


Entah mengapa saya merasa percaya diri dengan materi ini. Itu mungkin karena tembang nya masih yang level gampang. Iya sih lumayan pendek dan tidak ada cengkok yang berbelit-belit, jadi saya gampang juga melagukannya. Huft. Setidaknya itu awal yang cukup baik untuk memompa kepercayadirian saya di praktik-praktik berikutnya.



Satu pesan dari dosen pembimbing micro-teaching saya yang saya ingat sampai saat ini, “Aja ngangen-angen biji, sing penting apa sing tok lakoni kuwi dilakoni kanthi tenanan. Biji kuwi gari melu.” Yang artinya: Jangan berharap nilai yang baik, yang penting berusaha sebaik mungkin, kalau usaha baik hasilnya pasti baik. Ah, I love you Prof Endang. Sejak dari awal saya memang tidak berharap dapat nilai bagus untuk mata kuliah ini. Itu mungkin juga karena saya agak pesimis dan tidak pede dengan kemampuan sendiri. Tapi semakin dijalani, semakin terasa bahwa saya memang harus berusaha.


Praktik pertama, kedua masih terbilang parah meski materinya cukup saya kuasai. Rasa grogi lah yang belum bisa saya kendalikan dengan baik. Adaa aja sikap saya macam betul-betulin jilbab padahal ndak perlu dibetulin, omong masih kebanyakan aaa eee aaa eee, dan salah memilih kosakata (fyi, karena saya mengajar bahasa daerah—Jawa—maka saya harus menggunakan bahasa Jawa ragam halus/formal atau krama dalam mengajar, which is saya suka keceplosan pakai ragam ngoko/informal).


Hingga akhirnya saya berhasil membabat kurang lebih 6 kali praktik termasuk ujian. Lega bukan main ketika mata kuliah itu tamat. Rasanya ingin salto-salto ke udara *emang bisa?*. Nilai yang saya dapat yaa lumayanlah, lulus lisensi. Ini belum berakhir, justru baru akan dimulai. Kalau micro-teaching mengajar teman sendiri, nanti di PPL saya akan berhadapan dengan murid-murid sungguhan. Membayangkan PPL membuat rasa percaya diri turun lagi. Ah, sudahlah itu masih lama, nanti di bulan Juli.

You Might Also Like

2 komentar

Subscribe