Trust Me, I'm A Beat Maker

Januari 04, 2014



Buka*



Best moment di tahun 2013 yang lain adalah ketika saya mengikuti mata kuliah Sanggar Sastra Jawa. Mata kuliah ini mengharuskan, kami, mahasiswa membuat suatu pertunjukan semacam drama musikal. Proyek ini dilaksanakan oleh empat kelas dalam satu angkatan. Pertunjukan ini nantinya akan dipentaskan secara bergantian. Karena ini mata kuliah, tentu goal nya adalah nilai. Ya, nilai. Meskipun ini proyek kelas, nilai juga tidak bisa dipukul rata. Tetap tergantung kemampuan masing-masing dalam menjalankan peran.

Waktu itu, sekitar akhir Januari 2013 dimulai pembentukan panitia untuk Sanggar Sastra Jawa. Selain itu juga ada casting untuk pemain teater dan pengrawit alias pemain gamelan. Saya sendiri dalam kepanitiaan dapat jatah jadi PDD. Entahlah, sepertinya saya sudah diketok palu untuk jadi PDD di acara apapun. Ya sudahlah, PDD memang mendarah daging dalam diri sayahhh~

Para pemain telah ditentukan dengan casting. Saya tidak termasuk dalam jajaran para pemain itu. Tidak berminat saya coba-coba ke situ. Mau dapat peran apa saya di panggung? Pohon-pohonan? -.-

Saat itu, saya hanya berpikir menjadi orang di balik panggung yang akan mengatur setting, properti, atau kostum. Ternyata, Tuhan berkehendak lain *tsaahh*. Saya akhirnya tergabung dalam tim iringan alias pengrawit yang membuat bunyi-bunyian ketika pertunjukan berlangsung. Pegang alat musik apa? Saya sih maunya pegang tangan Lee Minho aja -.- *Oppaa~ Kyaa!!* *abaikan*

Awalnya saya inginnya pegang saron, kenong, atau kempul juga ndak apa lah yang penting kebagian peran. Ternyata, saya diminta pegang kendhang! Duerrr. Umumnya, yang main kendhang itu cowok. Tapi karena di kelas saya cowoknya hanya enam biji, empat cowok sudah dapat jatah bermain peran. Dua yang lain, satu di perlengkapan, satu penabuh gong. Oke. I have no choice.

Saya dihadang keragu-raguan. Permainan kendhang saya pas-pasan. Pas semrawut nya. Kalau dalam band, kendhang itu ibaratnya beat maker alias drum. Lagi-lagi saya tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri. Ah, saya kan bisanya hanya gendhing-gendhing yang pakem (fyi, dalam memainkan gamelan ada lagu/gendhingyang sifatnya dasar dan pakem seperti ladrang, lancaran, dan ketawang di mana irama kendhang nya sudah fix tidak bisa berubah).

Saya sempat ingin mundur, sodara. Saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk improvisasi dalam bermain kendhang. Tidak mungkin dalam pertunjukan nanti pakai irama gendhing yang pakem. Bakalan garing nanti. Kemudian saya merenung *cie galau*. Saya berpikir, kalau saya tidak main kendhang saya mau ngapain? Apa iya aku mau di belakang layar terus? Sekali-kali lah tampil. Akhirnya, saya memberanikan diri meskipun saya tidak tahu akan menggarap iringan yang seperti apa nantinya. Di situlah poinnya: saya keluar dari zona nyaman.

Hari berganti, naskah sudah fix tinggal iringan yang menyesuaikan. Waktu itu, tim pengrawit buta dalam menggarap iringan. Ada beberapa teman yang memang aktif bermain gamelan di UKM, tapi ternyata itu tidak cukup untuk mengarahkan tim kami menggarap iringan. Koordinator pengrawit pun akhirnya meminta bantuan dosen seni karawitan kami. Dosen tersebut suka dipanggil dengan sebutan Mas Kisno. Akhirnya kami berguru pada Mas Kisno.

Jika para aktor bisa latihan di mana saja, pengrawit puyeng memikirkan tempat latihan. Kalau anak band gitu ya, sewa studio banyak. Pengrawit? Kelaut aja udah..sama Nyi Roro Kidul -.-

Di kampus memang tersedia laboraturium karawitan. Tapi lab tersebut hanya boleh dipakai saat jam kuliah saja. Nah, untuk memenuhi target pertunjukan, dibutuhkan tempat latihan lain yang bisa dipakai kapanpun. Cari info sana sini, akhirnya kami latihan di lima tempat yang dalam seminggu berpindah pindah tidak menentu. Puyeng nggak tuh.

Tempat latihan pertama lab karawitan atas yang memang jatah kami kuliah di sana. Tempat kedua, lab karawitan bawah, itu kami pakai ketika sudah mendekati D-day, dengan sedikit perjuangan rebutan sama kelas lain. Tempat ketiga, lab karawitan baru di gedung akademik yang tempatnya masih acak-acakan dan instrument gamelannya meskipun baru bunyinya agak tidak beres. Tempat keempat, di rumah salah satu warga di daerah Janti. Terakhir, Balai Budaya Minomartani, tempat ini yang paling kece dibanding yang lain.

Berbagai halangan menghadang para pengrawit. Jenuh saat latihan, capek karena memang bersamaan dengan micro-teaching, ada saja alasan untuk menghindar dari latihan. Saya pun begitu, suka telat kalau latihan, padahal kalau kendhang tidak main, jadi susah menentukan beat nya. Waktu latihan di Janti, kami sempat kebasahan karena tempat latihannya bocor saat hujan, macam air terjun Niagara *ini lebay*. Tapi serius, bocornya ndak cuma tetes-tetes tapi nggrojog (deras). Karena bocor, kami mlipir-mlipir (menepi) di pinggir-pinggir yang tidak basah. Habis hujan reda, kami bantu yang punya rumah buat ngepel yang banjir kena bocor tadi. Apa banget gitu ya sampai ngepel rumah orang -.-

Saya sendiri sebelumnya masih meraba-raba irama iringan yang akan kami garap. Saya tidak paham bagaimana irama saat opening, closing, ganti adegan, dan sebagainya. Mas Kisno mengarahkan kami dalam menggarap iringan. Hampir semua irama yang dipakai adalah irama garapan alias tidak pakem. Belum lagi dalam naskah ada adegan di mana si tokoh utama menari Ronggeng. Sudah lah saya tamat aja gimana? -.-
Untuk iringan Ronggeng, saya fix tidak sanggup. Tahu kan joget Ronggeng seperti apa? Bayangkan jika saya menabuh kendhang disesuaikan dengan gerakan meliuk-liuk penarinya? Akhirnya, saya dibantu oleh additional player *berasa anak band banget yak* anak jurusan seni tari. Dia lakik tapi bisa menari dan main kendhang. Aseek, saya tidak perlu ngamen~

Iringan lainnya saya tidak begitu terkendala memainkannya. Justru ternyata lebih mudah daripada ketika main gendhing yang pakem. Saya suka iringan ketika adegan si tokoh antagonis sedang mabuk. Iramanya seperti irama pendekar mabuk dari Cina itu..lucuk. Selain itu, ada irama yang agak nyerempet beat tarian salsa. Itu juga lucuk. Ah pokoknya lucu-lucu musik garapannya >.<



Karena keseringan main kendhang, telapak tangan dan jari-jari saya sempat kapalan. Kasar seperti tangan kuli. Saya juga sempat demam dua hari karena mungkin stress menjelang pentas. Tapi saya senang, karena saya dipercaya jadi leader. Dalam karawitan, yang jadi leader itu bisa pemain bonang barung atau kendhang. Mereka yang menentukan kapan musik dimulai.

Saat hari pementasan tiba, deg-degan itu pasti. Saya yang tidak pernah manggung sebelumnya, nervous bukan main. Takut salah memulai, takut salah kasih aba-aba. Tapi itu bisa kuatasi dengan cukup baik. Sayangnya, dan untungnya juga, pemain gamelan itu tidak kelihatan. Maksudnya, yang kena sorot lampu ya para aktor di panggung. Para pemain gamelan posisinya seperti penonton saja. Ya kurang lebih seperti OVJ itulah posisinya.

Saya senang karena pentas berlangsung dengan baik dan lancar. Senangnya lagi Ibuk dan kakakku datang menonton. Oya, pementasan kami sifatnya terbuka, siapapun boleh nonton, dan gratis.
Dari momen pentas ini saja, banyak pelajaran yang dapat diambil. Mulai dari menumbuhkan rasa percaya diri, kerjasama, semangat, kekompakan, dan saling percaya satu sama lain. Selama proses itu, saya suka nonton video manggungnya si Kyuhyun SJ. Lah, kok jadi K-Pop? Jadi, supaya semangat manggung, saya lihat Kyuhyun saat menyanyi solo. Di acara itu, dia ditonton oleh kedua orangtuanya. Poinnya, saya pengen tampil kece di depan orang tua supaya mereka bangga :’). Ya seperti Kyuhyun, walaupun saya tidak menyanyi, tapi menabuh kendhang.
Itulah salah satu momen terbaik saya di tahun 2013 kemarin.

Suwuk**




*Aba-aba untuk memulai gendhing gamelan

**Aba-aba untuk mengakhiri gendhing gamelan

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe