Filosofi Teras

Juni 16, 2020


Filosofi Teras - Henry Manampiring


Penulis: Henry Manampiring

Ilustrator: Levina Lesmana

Penerbit: Kompas

Halaman: 344 halaman

Cetakan: Pertama

Tahun: 2019

ISBN: 978-602-412-519-6


Filosofi Teras ini awalnya saya kira buku tentang filsafat yang ndakik-ndakik atau berat buanget gitu. Ternyata tidak. Begitu asyik penyampaiannya disertai ilustrasi yang mendukung.


Buku ini berisi tentang Stoisisme yang diterjemahkan jadi Filosofi Teras. Baru pertama juga saya dengar soal Stoisisme ini. Sang penulis, Om Piring atau yang biasa nongol di Twitter dengan username @newsplatter ini ternyata juga belum lama mengenal Stoisisme ini. Lalu menjadikannya ingin berbagi ke orang-orang tentang pengalamannya menerapkan Stoisisme di kehidupan sehari-harinya.


Apa sih Filosofi Teras? Kalau dijelaskan panjang, mending ikutan baca bukunya aja haha. Tapi, tujuan dari Filosofi Teras adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali, dan hidup dengan kebajikan (virtue/arete) [halaman 33]. Kayak panduan biar enggak marah-marah terus, biar nggak sedih-sedih terus gitu wkwk.


Banyak hal di dalam buku ini yang bisa saya ambil highlight buat saya pahami dan terapkan. Satu di antaranya yaitu rumus S-T-A-R (stop, think & assess, respond). Rumus itu bisa diterapkan saat menghadapi rasa marah, sedih, jengkel, putus asa, dan macam-macam perasaan ambiradul lainnya.


Semakin saya baca halaman demi halaman, makin banyak ilmu baru yang cukup bikin terkejoet karena pemikiran itu lahir sejak ribuan tahun lalu dan masih relevan sampai sekarang.


Ada satu kutipan yang berkesan bagi saya dari buku ini:


“(Kamu mendapatkan) ketimun pahit? Ya buang saja. Ada semak berduri di jalan setapak yang kamu lalui? Ya berputar saja. Itu saja yang perlu kamu tahu. Jangan menuntut penjelasan, ‘Kenapa ada hal (tidak menyenangkan) ini??’ Mereka yang mengerti sesungguhnya dunia seperti apa akan menertawakanmu, seperti tukang kayu yang melihat kamu kaget karena ada banyak debu hasil gergaji di tempat kerjanya, atau tukang sepatu melihat kamu kaget karena banyak sampah kulit sisa (di tempat kerjanya).”

- Marcus Aurelius (Meditations) [halaman 136]


Marcus Aurelius mengatakan itu ribuan tahun lalu, dan sampai sekarang masalah ketimun pahit ini masih ada aja sampai sekarang dengan berbagai macam wujud. Dan Eyang Marcus bilang “buang aja” ya udah buang wae ngono lho, terus ambil timun yang lain yang semoga enggak pahit.


Untuk fokus pada solusi, bukan pada kenapa masalah bisa terjadi. Ini yang pelan-pelan saya praktikkan di keseharian. Sama kayak yang Om Piring juga rasakan, dia terkesan sama kutipan itu. Kata dia, jangan ribet deh.


Dalam kasus saya adalah berhadapam dengan meja kotor. ‘Ini meja makan kotor buanget sih, berantakan buanget sih!’. Kesel dong saya. Mana pemandangan kayak gitu hampir tiap hari saya nemu kan ya. Daripada marah-marah sambil nyari pelaku pemberantakan meja, kan lebih enak energinya dipake buat beresin ya. Tentunya saya STAR dulu sebelum mencak-mencak. Habis itu diberesin, udah.


Tapi tentu belum semua hal saya bisa begitu sih hehe. Masih panjang prosesnya.

Dalam buku ini juga ada sisipan wawancara Om Piring dengan beberapa tokoh mulai dari psikiater, editor, sampai psikolog anak dan pendidikan. Sisipan ini pun menambah insight buat saya soal Filosofi teras dan hal lain yang berkaitan.


Buku ini helpful setidaknya bagi saya yang emotionally masih unstable. Membantu juga buat orang-orang yang dengan mental health issue.


Saking butuh pemahaman yang mendalam, saya butuh waktu setahun lebih buat menyelesaikan baca buku ini. Haha enggak gitu, tahun lalu ritme baca buku saya yang melambat aja.


Ada satu buku lagi yang saya rasa nyambung sama buku ini. Saya sudah beres baca juga. Nanti menyusul ya ulasannya.

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe