Hai lagi, Dilan

Juli 16, 2015



Asal kamunya tetep ada di bumi. Udah cukup, udah bikin aku seneng – Dilan

Kau bisa saja menganggap itu gombal, tetapi bagiku, hal macam itu juga perlu diungkapkan. Karena kalau benar bagimu kata-kata itu tidak penting, lalu mengapa engkau sakit hati ketika mendapat kata-kata makian? Hinaan? Bukankah makian dan hinaan itu juga sama, cuma sekedar kata-kata? Mengapa tidak kau anggap juga sebagai omong kosong?
ᅟᅳMilea



Membaca kelanjutan kisah Milea dan Dilan.
Kali ini kisahnya lebih banyak konflik daripada romansanya. Masih seputar anak remaja SMA. Sangat terasa SMA nya. Bikin angguk-angguk kepala, iya ya dulu waktu SMA begitu.

Saya juga suka sekali tokoh Ibu dan Bunda. Digambarkan Ibu, yaitu ibu dari Milea ini ibu yang mau mendengarkan anaknya, memahami kondisi emosi putrinya yang masih remaja. Ibu suka mendengarkan curhat dari Milea. Apapun yang terjadi pada Milea, Ibu akan mendengarkan keterangan dari Milea, tidak asal menghakimi.



Aku bersyukur punya ibu yang bisa melihat lebih dari satu cara pandang di dalam menilai sesuatu. Aku bersyukur punya ibu yang bisa menerima orang lain tanpa banyak prasangka dan tidak asal menilai sehingga, Dilan baginya, sama sebagaimana halnya aku menilai Dilan! –Milea (Hal. 195)



Ibu bisa menempatkan diri sebagai orang tua, ibu, dan kawan bagi Milea. Itu sih yang saya tangkap dari pernyataan Milea. Mungkin itu jadi pengingat juga bagi orang tua di masa sekarang. Saya juga enggak begitu paham bagaimana tipe orang tua kebanyakan di tahun 90-an. Mungkin bisa jadi saat itu kebanyakan orang tua tipenya seperti sosok Ibu ini. Saya kira. Bisa menjadi kawan buat anak-anaknya yang sedang proses bertumbuh.

Sama halnya dengan Ibu. Bunda, yaitu ibu dari Dilan, juga digambarkan sebagai ibu yang enggak rempong. Dilan anaknya bandel luar biasa, tapi Bunda ini tahu betul memperlakukan anaknya yang bandel itu. Bunda tidak membela Dilan dan menyatakan Dilan tidak bersalah ketika tahu Dilan dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian.



“Nanti, Dilan sekolah di mana?” kutanya Bunda.
“Aaah.... Banyak sekolah,” jawab Bunda. “Gak usah risau.”
Aku diam.
“Kalau perlu di Antartika!” kata Bunda. Pasti dia bercanda.
Aku senyum, menyadari bahwa di dalam hal menyikapi persoalan, Bunda itu sama dengan Dilan, tidak perlu banyak bertanya, tidak perlu banyak berpikir.
Ketika kuajak Bunda untuk nengok Dilan di kantor polisi, Bunda bilang gak usah.
“Biarin,” katanya. “Biar jera dia itu.”
(Percakapan Bunda dan Milea halaman 211)



Bunda ini menurut saya keren. Itu tadi, enggak rempong, enggak kebanyakan pikiran. Bunda tahu kapan harus keras ke Dilan dan kapan harus bersikap sebaliknya. Sama seperti Ibu.

Hal lain dari kisah Dilan dan Milea yang saya dapat adalah: perpisahan, kehilangan, mengikhlas. Oh God. Again. Saya ambil sedikit kutipannya ya, ada banyak, nanti kalau semua jadi nyalin buku saya. Haha. Halaman 319.


...manakala seseorang itu pergi, rasanya seperti bagian dari kita telah lenyap. Kukira itu normal itu adalah bagian dari suatu proses berduka. Tetapi cepat atau lambat, aku harus bisa menerima sepenuhnya, meskipun sebagian dari diriku masih berharap akan bisa kembali bersama-sama.
...Tapi kalau terus dipikirin hanya akan membuat lebih buruk buatku. Memang tidak salah untuk berharap, tapi aku harus tahu kapan berhenti!


Lumayan bikin sedih, tapi juga manggut-manggut setuju. Ini saya nulis sambil mendengarkan lagu berjudul ‘Voor Dilan’ yang sempat saya posting. Ah, Dilan, Milea. Membuat saya memikirkan banyak hal.


Jadi mengapa harus lama-lama termenung?
Waktu terus bergerak, bahkan ketika kau diam.

You Might Also Like

2 komentar

Subscribe