Nguwongke
Juni 18, 2014Pendidikan Bahasa Jawa. Tidak sepopuler prodi lain. Kuliahnya enak, tidak se-hectic jurusan lain. Tidak perlu rebutan kelas matakuliah karena sudah ada paket tiap semesternya. Tidak ada uang sks, hanya perlu membayar SPP saja. Kuliah murah, orang-orang bilang. Tidak ada praktikum yang berdarah-darah. Tidak ada deadline paper yang serasa mencekik leher.
Bahasa pengantar kuliah 60% menggunakan bahasa Jawa, halus. Skripsi juga wajib menggunakan bahasa krama alus. Dosennya biasa saja. Nyentrik pun masih dalam batas wajar.
Selama hampir empat tahun belajar di prodi ini, saya tidak begitu ingat apa saja yang sudah saya pelajari. Saya tipe orang yang malas pikir. Saya lebih dominan merasakan. Seperti anak TK ya? Like atau dislike. Begitu kata Mbak Zita, temannya teman, tempo hari.
Sukanya saya belajar di prodi ini adalah,
saya jadi tahu tata krama. Beberapa matakuliah malah terasa seperti kelas kepribadian. Beberapa dosen tidak akan bosan mengingatkan atau mengoreksi mahasiswanya dalam berbahasa maupun bertingkah laku. Beberapa ada yang menerapkan 'tanggap ing pasemon' atau bahasa kekiniannya adalah main kode. Seperti khasnya orang Jawa, mainnya main sindir. Sindir alus. Beberapa beranggapan bahwa itu komunikasi tidak efektif. Iya, secara anak kekinian mana sih yang peka atau tanggap terhadap situasi yang berupa sindiran, sindiran halus pula. Saya jadi belajar peka dari situ. Tanggap tanpa diperintah. Inisiatif lah bahasa kerennya.Mau adu argumen sama dosen? Boleh. Silahkan saja. Asal kamu punya cukup ketrampilan berbahasa krama alus. Ah, kakehan mikir. Memang. Ya mau bagaimana lagi, inilah Jawa. Segala sesuatunya harus matang. Enggak grusah grusuh. Menata diri, itu sih konsep yang bisa saya tangkap dari sana.
Pernahkah kamu duduk di bangkumu sendiri tapi orang lain yang mengatur? Saya pernah. Bangku di ruang kuliah bentuknya kursi-meja yang bisa dilipat itu. Beberapa ada tempat menaruh tas di bawahnya. Tempat tas itu enak sekali buat mancik kaki. Ada dosen yang bertanya, fungsi rak itu buat apa? Sudah, tidak usah dijawab, kalau kakimu nangkring di situ segera turunkan. Main kode. Haha. Ribet? Memang.
Pernah kamu pakai sepatu tapi diatur? Saya juga pernah. Saat itu di kelas saya duduk di bangku paling depan. Pakai kemeja, kaki disilangkan di lantai tidak nangkring di pancikan kursi, tubuh agak serong menghadap dosen. Perfect. Dosen tanya ke saya:
Mbak, sepatunya Crocs ya? Larang kuwi, 200 ra oleh, larang-larang kok mung dipidak.
Si dosen tertawa kecil. Hal yang aku tangkap adalah, sepatuku tumitnya terlihat, ganti sepatunya. Kode lagi.
Masih banyak lagi kode-kode lain sebenarnya. Membuat lelah secara mental. Tapi saya pribadi merasa beruntung, itu saya anggap pelajaran budi pekerti. Menghargai sesama manusia. Nguwongke. Memanusiakan manusia. Saya rasa adik-adik kecil di TK-SD tidak harus pandai bahasa asing, mereka harus pandai memanusiakan manusia dengan budi pekerti.
Mau coba main kode? ;)
0 komentar