'Blusukan' Pernikahan Putri Raja [Part VI.b]
Juni 18, 2014
Masih di hari yang sama, 13 Oktober 2013.
Setelah dari Kotagede, kami bertolak menuju Imogiri. Saya belum pernah kesana. Sumpah hidup di Jogja dari orok sampai mau jadi simbok begini kemana ajah. Saya, Desti, dan Mas Bim nebeng mobil Pak R. mobilnya lebih adem. Hahaha. Dalam perjalanan, Desti sibuk ngetik bahan yang tadi dia dapat di Kotagede. Saya sih bantu Desti mengingat kronologi, nama, dan apapun yang ada kaitannya dengan kegiatan di Kotagede tadi. Maklumlah, numpang piknik doang.
Jalan menuju Imogiri itu luar biasa tanjakannya.
Lewat kebun buah Mangunan. Katanya sih kebun buah, tapi waktu saya main kesana ndak ada buah apa-apa. Bu-ah-mad doang adanya. Abaikan. Kami mulai memasuki area perbukitan tandus di kawasan Imogiri. Kami tidak masuk komplek pemakaman lewat pintu utama yang letaknya ada di bawah. Ya kalik naik tangga dari bawah sampai ke atas bukit dengan kostum begini. Ya walaupun kenyataannya para abdi dalem sering melakukan hal itu. Saya mah abdi dalem temporer ndak akan bisa sesuper abdi dalem permanen *dikata tattoo*. Sebenarnya sih saya ngikut aja sama Pak R mau lewat mana. Berhubung ini rombongan putri raja, jadi ya eksklusif langsung sampai komplek paling atas.
Lewat kebun buah Mangunan. Katanya sih kebun buah, tapi waktu saya main kesana ndak ada buah apa-apa. Bu-ah-mad doang adanya. Abaikan. Kami mulai memasuki area perbukitan tandus di kawasan Imogiri. Kami tidak masuk komplek pemakaman lewat pintu utama yang letaknya ada di bawah. Ya kalik naik tangga dari bawah sampai ke atas bukit dengan kostum begini. Ya walaupun kenyataannya para abdi dalem sering melakukan hal itu. Saya mah abdi dalem temporer ndak akan bisa sesuper abdi dalem permanen *dikata tattoo*. Sebenarnya sih saya ngikut aja sama Pak R mau lewat mana. Berhubung ini rombongan putri raja, jadi ya eksklusif langsung sampai komplek paling atas.
Hari sudah siang, dan cuaca mulai panas. Turun dari mobil, saya dan Desti enggak sempat mikir ambil alas kaki di mobil satunya. Kami berpikir akan baik-baik saja tanpa mengenakan alas kaki. Ternyata pikiran itu salah besar! Di dalam komplek pemakaman itu lantainya lantai batu. Pernah ke Borobudur? Ya seperti itu lantainya mirip batu candi. Kaki rasanya seperti menginjak bara api. Saya dan Desti jalannya mlipir-mlipir nyari bayangan tembok, daun-daunan pohon, sampe bayangan pot bunga yang cuma seuprit. Itu kami lakukan demi kaki kami supaya enggak mlosoh (kepanasen banget). Ugh luar biasak! Pak R sampai menegur kami:
“Kok sandal ora dinggo wae to, Mel? Dest?” (Kok sendalnya enggak dipakai aja sih, Mel, Dest)
Saya jawab, “Sandale ditilar teng mobil sing wau e, Pak.” (sendalnya ditinggal di mobil yang tadi nih Pak)
“Oalah, yowis malahane dlamakane kandel.” (Oalah, ya sudah, itung-itung mempertebal telapak kaki---ih ini aneh banget ya bahasa Jawa dialihbahasakan ke Indonesia)
Saya sama Desti pasrah aja tetep harus semangat. Totalitasss!
Memasuki komplek pemakaman, rombongan kami sudah disambut oleh abdi dalem yang bertugas di sana. Ada sekitar tujuh orang abdi dalem yang menyambut kami. Saya amati satu-satu, kok kayaknya ada yang familiar wajahnya. Tak ingat-ingat ternyata bapaknya temen SD saya sekaligus teman bapak saya juga, anak kampung sebelah. Hahaha. Baru sadar kalau bapaknya temanku ini seorang abdi dalem. Padahal dulu sering main kerumahnya yang wujudnya klasik gaya rumah priyayi kraton. Saya sempat menyapa dan berbasa-basi dengan beliau, tapi kayaknya beliau pangling gitu sama saya. Ya udah deh, aku rapopo.
Kembali lagi ke jalan cerita, rombongan langsung menuju komplek pasareyan Kagungan Dalem Kedhaton Kasultanagungan. Komplek tersebut berada di bagian paling atas. Kami harus menaiki ratusan anak tangga untuk bisa sampai di sana. Bayangkeun, jalan nyeker menaiki ratusan anak tangga batu di siang bolong. Luar biasak. Sampai di gerbang Kagungan Dalem Kedhaton Kasultanagungan, ada pendopo sejenis Bangsal Pengapit seperti di Kotagede tadi. Di sana sempat singgah sejenak, benar-benar sejenak karena rombongan langsung naik ke atas menuju makam Sultan Agung.
Saya dan Desti pun langsung mengekor. Sampai di depan gerbang, seorang abdi dalem nyegat *bahasa Indonesianya apa ya?* kami. Eh? Kenapa? Owalah, ternyata kami lupa ganti kostum. Ya, peraturannya sama seperti di Kotagede tadi, selain kerabat Kraton, pengunjung wanita diwajibkan pakai kemben. Akhirnya saya dan Desti kembali ke Bangsal Pengapit tadi kemudian ganti kostum. Di bangsal pengapit tidak ada ruangan yang proper untuk ganti kostum. Kami enggak mikir diintip apa gimana, orang tinggal lepas ini. Seksi yoben, ethel wae pokokmen~
Setelah beres ganti kostum, saya dan Desti berlari tergopoh-gopoh menaiki anak tangga menyusul rombongan. Saya enggak ngitung ada berapa anak tangga menuju ke area makam Sultan Agung. Banyak. Saya lebih fokus untuk mencari bayangan tempat kaki berpijak. Iya! Panas! Sumpah! Mau ditahan kayak apa tetep enggak kuat! Saya juga enggak ingat melewati apa saja menuju area makam Sultan Agung. Yang jelas ada beberapa pohon kecil dan pot-pot tanaman penyelamat kaki. Oh, ada juga bangunan macam balai-balai kecil begitu yang bayangan atapnya lumayan buat ngademin kaki. Oke, kaki akan menjadi fokus utama perjalanan ini *sigh
Akhirnya kami tiba di area paling atas komplek pemakaman. Di area tersebut ada satu cungkup (bangunan seperti rumah)utama tempat makam Sultan Agung dan kalau tidak salah ada satu cungkup kecil di dekatnya tempat makam permaisuri dari Sultan Agung. Rombongan dan abdi dalem menempatkan diri untuk segera memulai doa dan tahlil. Saya dan Desti ikut duduk di salah satu sisi di tepian cungkup bersama abdi dalem lain. Doa-doa mulai dipanjatkan seiring dengan asap kemenyan dan ratus (sejenis dupa) yang dibakar berikut aroma bebungaan yang semerbak ditiup angin.
Waktu untuk doa dan tahlil kurang lebih 25 menit. Usai doa, Mbak Hayu dan Mas Noto dipandu beberapa abdi dalem memasuki cungkup untuk tabur bunga di makam Sultan Agung. Pak R mengisyaratkan saya dan Desti untuk masuk. Oh ternyata tidak, hanya salah satu dari kami saja. Desti lah yang akhirnya ikut masuk. Bukan apa-apa, saya mau saja masuk, tapi pintu cungkup sangat kecil dan harus menunduk untuk masuk. Yaa gampangannya, saya takut enggak muat melewati pintu itu. Secara.. *liatin badan sendiri*. Enggak ding, posisi Desti saat itu lebih mudah untuk melangkah masuk ke pintu sih sebenarnya.
Setelah beberapa saat, Desti keluar dari cungkup. Saya sempat tanya, di dalam ada apa saja, kalau tidak salah, yang paling saya ingat adalah di dalam gelap dan ada tumpukan bekas bakaran kemenyan. Sudah, hanya itu yang saya ingat. Selebihnya, tentang deskripsi lebih rinci nanti bisa tanya Desti. Hehehe
Dari komplek Kasultanagungan, rombongan segera menuju komplek *buka kepekandulu* *lupa namanya* Kagungan Dalem Kedhaton Kaswargan. Berpindah tempat berarti harus berjuang menyelamatkan kaki. Semakin panas, Kaaak~ Waktu itu sudah hampir pukul 12 siang. Saya lihat si Desti, kok dia kayak kebal sekali dengan panasnya lantai batu iniih~ Mungkin tadi dari dalam cungkup dia dapat ‘sesuatu’, terompah transparan mungkin, atau apapunlah yang membuat telapak kakinya baik-baik saja :|
Di komplek Kaswargan terdapat makam Sultan HB I dan Sultan HB III. Kondisinya kurang lebih sama dengan lingkungan Kasultanagungan. Ada satu cungkup tempat makam kedua raja. Di luar cungkup terdapat makam-makam kerabat kedua Sultan tadi. Mbak Hayu beserta rombongan cukup melakukan tabur bunga saja di sini, karena doa dan tahlil tadi sudah sekalian ketika di Kasultanagungan.
Lanjut lagi ke komplek berikutnya. Ambil nafas dulu, ditahan, lari turun tangga secepat-cepatnyaa! Panas lho sumpah. Mbak Hayu dan Mas Noto juga nyekereun, jangan salah. Oke, hembuskan nafas sak pol-pole ketika tiba di komplek Kagungan Dalem Kedhaton Besiyaran. Saatya ngademin telapak kaki. Saya sudah enggak peduli mau badan saya gosong atau muka saya gosong kena matahari, yang paling penting kaki enggak boleh mlosoh!
Dalam komplek ini terdapat makam Sultan HB IV, V, dan VI. Di komplek inilah terdapat makam Putri Dalem Sultan HB VI, Gusti Hayu yang namanya dipakai untuk nama Mbak Hayu yang sebelumnya bernama GRAj Nurabra Juwita. Peniruan nama ini disebut nunggak semi. Begitu pula dengan Mas Noto yang sebelumnya bernama Angger Pribadi Wibowo berganti nama menjadi KPH Notonegoro. Kurang lebih seperti itu menurut penjelasan salah satu abdi dalem. Saya berasa kuliah lapangan kebudayaan Jawa euy~
Dari Kagungan Dalem Kedhaton Besiyaran, rombongan beralih ke Kagungan Dalem Kedhaton Saptarengga. Di sini tempat dimakamkan Sultan HB VII hingga HB IX. Untuk komplek terakhir ini saya tidak ikut naik ke komplek makam. Saya menunggu di bawah, di Bangsal Pengapit. Saya sudah tidak kuat lagiih~ Hanya Desti yang masih mampu bertahan. Kowe cen juarak Dest!
Di Bangsal Pengapit ini rombongan beristirahat menikmati tahu bacem sebesar penghapus papan tulis dan wedang uwuh yang menjadi minuman khas daerah setempat. Saya enggak nyobain makan tahunya, lihat saja sudah wareg sodara. Saya lebih tertarik wedang uwuh yang siang itu disajikan dengan es batu. Aaah~ maknyesss…serasa nemu surga :’)
Ada mitos unik di Bangsal Pengapit ini. Jika ada orang mau masuk kedalamnya, tanpa sengaja kepalanya terbentur tepian atap bangunan ini, maka orang tersebut akan cepat menikah. Mbak Hayu kejedhug pinggiran atapnya lho omong-omong..dan minggu depannya dia menikah :| Pliss..Ameng..plissss! Saya juga kejedhug, Desti juga *eh iya enggak ya? lupa* Apakah kami akan cepat menikah? Tunggu sampai kami launching website wedding kami *eh.
Rombongan masih asik ngobrol di bangsal ini sembari Mbak Hayu dan Mas Noto berganti pakaian santai untuk segera berangkat ke tempat berikutnya. Saya tidak ingat apa saja yang diobrolkan ketika itu. Hal yang saya ingat ada seorang ibu-ibu penjual wedang uwuh dan tahu yang disajikan ke kami, dia hobi kliping berita pernikahan putri-putri Sultan. Sejak GKR Pembayun hingga GKR Hayu ini si ibu punya semuanya. Gilak. Selo ya ibuknya :’)
Setelah cukup beristirahat, rombongan beranjak meninggalkan The Yogyakarta Royal Graveyard ini. Tsaaahh lagaknya sok enggress~ Mbak Hayu dan Mas Noto melanjutkan ziarah ke makam kerabat lainnya. Saya, Desti, Pak R, dan rombongan dari Têpas kembali ke Kraton Kilen. Akhirnyaaa kami bisa pakai alas kaki kami lagi…huhuhu. Hal pertama yang saya lakukan setelah keluar dari komplek pemakaman adalah, menghampiri mobil Isuzu hijau toska dan mengambil alas kaki sayaaa~ Rasanya seperti meraih piala emas berkilauan *nyanyi Queen We Are The Champion*
Saya, Desti, dan Mas Bim kembali pulang ke Kraton Kilen dengan menumpang mobil Pak R. Perjalanan masih panjang. Agenda masih banyak. Tugas juga masih mengantre. Hari itu sudah cukup membuat saya dan Desti teler. Ah enggak, saya rasa Mbak Hayu dan Mas Noto lebih teler lagi :p
Kisah kami jadi abdi dalem abal-abal belum berakhir. Justru ini belum dimulai. Ini baru pemanasan. Selanjutnya ada apa? Banyak! Lama-lama bisa jadi satu buku ini untuk rangkaian curhat ini. Ngalahin skripsiku kak! Skripsiku aja sehari enggak bisa sampai empat halaman begini :’)
Disambung part berikutnya yah~ Dadaaah~
4 komentar
Seru banget ya Menk! :D
BalasHapusSeru, Mbak! Menguji ketahanan telapak kaki :'D
HapusAduuuhh sayang bekas Abdi Dalem kita gak ada di kaki Mbak *liat telapak kaki yg tdk menebal* :'D
BalasHapusIyah ih, tidak ada bukti konkret :'))
Hapus