Menyapa Satya

Juni 18, 2014


Satya. Kami sama-sama siswa baru di SMA ini. Aku bahkan tidak begitu menyadari keberadaannya. Baru ketika satu semester berlalu, aku mulai menyadari ada sosok jangkung yang selalu duduk di pojok belakang kelas. Kami tak banyak mengobrol. Menyapanya pun tak pernah. Cukup tahu bahwa dia kawan kelasku.


Satya bukan asli kota ini, kudengar. Dia pindahan dari pulau seberang. Pantas logat bicaranya berbeda dari yang lain. Dia juga tidak menguasai bahasa daerah di kota ini. Satya tipe anak bandel. Dia ikut geng bersama anak-anak bandel lain di sekolah.

Suatu ketika kudengar Satya kecelakaan. Kami kawan sekelas heboh dan panik. Tapi entah kenapa saat itu aku tidak ikut menjenguknya. Sampai saat Satya sudah membaik, dia kembali masuk sekolah. Kakinya dibalut perban sebelah kanan. Jalannya pincang. Dia duduk di singgasananya, di bangku belakang.

Satya banyak melewatkan pelajaran. Dia tertinggal begitu banyak materi pelajaran.

"Bisa minta bantu? Ajari aku materi ini. Aku kesulitan."

Kalimat pertama yang ia lontarkan padaku. Kalimat permohonan. Aku ingat betul, dia menghampiri mejaku dengan tertatih. Aku terkejut. Sesuatu yang hangat menjalar di pipiku.

"Eh, huh?"

Aku gelagapan. Satya tampak serius minta diajari. Akhirnya kuajari dia. Meski kaku, meski kikuk. Dia segera duduk di sebelahku. Badannya yang jangkung itu..ah, wangi tubuhnya sangat khas. Aku masih bisa mengingat wangi itu hingga sekarang.

"Aku punya satu permintaan lagi. Kamu harus mau. Aku mau kamu ajari aku menggambar. Tidak boleh tidak mau."

Aku melongo. Tapi aku segera sadar bahwa Satya juga harus menyelesaikan tugas seni rupa untuk mengganti absennya di kelas seni rupa.

"Bagaimana? Apa perlu aku berlutut untuk memohon?"

"Hah?"

Aku dibuatnya melongo lagi.

"Ah ya sudah."

Tanpa aba-aba dia bangkit dari duduknya. Satya berjalan ke depan meja dan dengan segera dia berlutut.

"Aku mohon, aku butuh bantuanmu, sangat."

Ada apa ini? Dia benar-benar belutut hanya untuk diajari menggambar? Kusuruh dia bangkit. Aku mengiyakan permohonannya. Ini berlebihan batinku.

"Makasih." katanya


***


"Ambil penggaris. Bagi kertas ini jadi empat bagian untuk membuat titik hilang."

Hal yang tak pernah kubayangkan. Aku duduk di singgasana Satya. Di bangku belakang. Dengan seksama Satya melakukan langkah demi langkah yang kuinstruksikan untuk menggambar perspektif.

"Ahh! Kok beda dari punyamu?"

Dia frustasi. Sudah tiga kali dia mencoba menggambar balok dengan titik hilang dan gagal.

"Pelan-pelan. Ikuti aku. Coba lagi."

Kuangsurkan pensil dan penggaris ke hadapannya. Dia bekerja dengan mulut. Terlalu banyak protes.

"Itu berdua sedang apa di belakang?"

Tegur Pak Arif guru seni rupa saat itu.

"Kami membuat tugas yang Bapak perintahkan." jawab Satya dari bangkunya.

"Ya sudah kerjakan. Tidak usah sambil pacaran!"

Sesuatu yang hangat kembali menjalari pipiku. Kulirik Satya, dia masih sibuk dengan pensil dan penggarisnya. Tak dihiraukannya perkataan Pak Arif barusan. Syukurlah.


***

Satya menghampiri bangkuku. Tanpa permisi dia duduk di sebelahku.

"Kamu jadi wartawan? Masuk koran?" tanyanya tiba-tiba.

"Bukan wartawan. Hanya menulis." jawabku pendek.

"Kamu keren, bisa masuk koran." Satya kemudian beranjak dan berjalan keluar kelas. Pipiku kembali menghangat.


***

Pagi itu pelajaran olahraga. Senam lantai. Di atas matras kami harus melakukan rol depan dan rol belakang. Matras dibentangkan di lapangan basket. Setiap siswa menanti giliran dipanggil. Aku? Seingatku aku nomor urut tujuh di kelas. Tidak perlu lama menanti namaku dipanggil. Aku sukses bergulung di matras baik rol depan maupun rol belakang. Bagi yang sudah mendapat giliran, bisa duduk di tepi lapangan.

"Hei, duduk di sini! Jangan di situ, panas."

Satya melambaikan tangannya padaku memberi isyarat untuk duduk di tempat yang teduh. Aku menggeleng. Aku tidak masalah terkena panas matahari pagi. Ini menyehatkan.
Tiba-tiba suasana menjadi teduh. Hei, apa ini? Satya berdiri di belakangku menantang matahari. Aku menengok, dia tersenyum tipis. Aku menunduk. Malu. Rasa hangat di pipi terasa lagi. Semakin hangat.




***

Siang itu ada pertandingan sepakbola antarkelas. Lapangan bola meriah. Kelasku melawan kelas 11. Para lelaki sudah bersiap bertanding. Beberapa menanggalkan kemeja seragamnya di tepi lapangan dan hanya mengenakan kaus oblong. Satya juga demikian.

Pertandingaan berlangsung seru. Kelasku berhasil mengalahkan kelas 11. Para lelaki tampak puas dan bahagia. Usai pertandingan, satu persatu dari mereka meninggalkan lapangan. Sebagian besar mereka menuju warung di pojok lapangan untuk melepas lelah.

"Eh itu kemeja siapa ketinggalan? tanya Ana kawanku.

"Sepertinya kemeja Satya." jawab Damai kawanku satunya.

Ana mengambil kemeja itu.

"Wuih wanginyaaa~" celetuk Ana sambil menyerahkan kemeja itu padaku.

Aku tersenyum. Aku melipat kemeja itu. Selesai kulipat, aku taruh di atas tasku. Kemudian aku mengobrol dengan Ana dan Damai di tepi lapangan sembari minum es campur.

"Kemeja di sana tadi ada yang lihat tidak?" Satya datang dengan motornya menghampiri kami.

"Oh ini benar punyamu?" tanya Damai.

Satya mengaangguk. Aku mengambil kemeja itu dan kuberikan pada Satya.

"Makasih ya." Satya memandangku. Aku hanya mengangguk. Pipiku menghangat kembali.

Satya kemudian berlalu, melaju motornya kembali ke warung di sudut lapangan bola.

***

Gerimis turun perlahan. Aku duduk di tepi lapangan, di bawah payung. Memandang luasnya lapangan bola yang mulai basah. Air hujan mencium tanah, menyisakan aroma khas yang sangat kusukai.

Aku membayangkan anak laki-laki bermain bola di lapangan itu. Enam tahun silam. Satya. Aku mengingatnya sebagai anak bandel tapi baik hati. Si Jangkung dengan badannya yang berwangi khas. Sama khasnya dengan wangi air hujan yang mencium tanah.

Pipiku kembali menghangat. Untuk pertama kalinya aku menyapamu:

"Satya, apa kabar?"

You Might Also Like

2 komentar

Subscribe