'Blusukan' Pernikahan Putri Raja [Part VI.a]

Juni 17, 2014



Hari Minggu, 13 Oktober 2013


Setelah sehari sebelumnya satu tim menjajal kostum, agenda hari ini saya dan Desti kebagian ikut nyekar atau ziarah ke makam para leluhur Kraton. Menurut informasi, kami akan pergi ke komplek makam raja-raja Mataram di Kotagede dan komplek makam raja-raja Yogyakarta di Imogiri.


Sekitar jam 5 pagi, saya sampai di rumah Bu Anik untuk memakai kostum seperti hari kemarin. Iya, kami harus memakai kostum janggan, jarik, dan tentunya sanggul. Saya dan Desti disambut Pak Bowo. Bu Anik sudah pergi merias di tempat lain pagi itu. Salah saya juga sih datangnya telat, padahal sudah janji jam 4 datang. Duh, terus siapa yang merias kami?


Akhirnya, Pak Bowo menelepon salah satu tetangganya yang juga perias. Tidak lama, seorang ibu berambut sebahu datang dengan muka bantal. Serius, si ibu ini benar-benar bangun tidur! Jadi khawatir nanti masang sanggulnya kebalik apa miring gitu :| Akhirnya kami ditangani oleh ibu ini, saya lupa namanya siapa..maap ya Bu.

Berdasar informasi yang kami dengar, bagi wanita harus mengenakan kemben ketika memasuki komplek pemakaman. Begitupun laki-laki, juga harus pakai pranakan. Kurang lebih sama seperti ketika masuk Kraton kemarin. Oleh karena itu, kami rikues ke Si ibu untuk membantu saya dan Desti memakai kemben. Aduh ciyn, jadi seksi bener saya nanti..enggak kebayang gitu pakai kemben. Oke ndak masalah. Totalitas.

Sebelum pakai kemben, kami pakai sanggul dulu. Kami tanya ke Si ibu, kalau ndak pakai sanggul tekuk boleh ndak? Si ibu bilang ndak apa-apa. Untuk alasan keamanan dan keleluasaan kami dalam bergerak, kami memilih sanggul cepol saja yang wujudnya kecil seukuran kepalan tangan orang dewasa dan tentunya lebih ringan. Akhirnya Si ibu dengan cekatan memasangkan sanggul cepol di kepala kami. Prosesnya lumayan cepat, seperti tinggal tempel aja gitu.

Setelah pasang sanggul, kami pakai kostum. Seumur saya udah gede ini, baru ini saya pakai kemben. Kalau pas kecil mah selalu pakai kemben kalau disuruh jadi patah (anak kecil pendamping pengantin yang bawa kipas—tukang kipasin pengantin gitu). Kalau enggak demi tugas, saya enggak bakal mau pakai kemben, secara bodi saya yang aduh(hai) lengan macam pentungan patung gupala (patung raksasa macam di depan Gedung Agung yang ada taringnya itu kalau pernah lihat).

Setelah beres pakai kostum, kami berangkat menuju Kraton Kilen, jalan kaki, seperti biasa *udah kebiasaan gitu ceritanya*. Sampai di Kraton Kilen, saya dan Desti masih menunggu yang lain. Sudah ada Mas Sap juga. Hari itu, saya dan Desti memutuskan untuk bareng rombongan dokumentasi yang biasa kami sebut rombongan Têpas. Awalnya kami ditawari Pak R untuk bareng dengan beliau, tapi akhirnya kami memilih bareng Têpas saja biar banyak temennya.

Tidak lama, ada Mas Bim datang. Kami diberitahu kalau mobil sudah siap. Kami nebeng mobil salah satu anak Têpas yang saya lupa namanya. Di mobil, semuanya laki-laki kecuali saya dan Desti. Ada Mas Sap, Mas Bim, dan tiga orang anak Têpas. Mobil sejenis Isuzu berwarna hijau toska itu penuh sesak rasanya. Huft. Ndak apa deh, namanya juga nebeng.

Tujuan pertama kami adalah komplek pemakaman di Kotagede. Saya belum pernah kesana. Jadi ini pertama kalinya. Asik, piknik. Di perjalanan, saya dan Desti banyak nguping pembicaraan Mas Bim dan salah dua anak Têpas. Obrolannya, obrolan orang pinter gitu. Si Desti juga ngajakin ngobrol Mas Dimas, salah satu anak Têpas yang tugasnya jadi tukang foto.

Sampai di halaman parkir komplek pemakaman, suasananya lengang. Tidak banyak orang. Banyak warung itu di kanan-kiri jalan menuju gerbang depan. Sebelum turun dari mobil, kami copot alas kaki lagi. Okesip. Belum ada instruksi masuk, saya dan Desti keliling-keliling dulu sampai ke pinggir jalan. Lihat-lihat papan yang ada deskripsi tempatnya itu buat bahan tulisan. Wujud kami saat itu ya kurang lebih sama lah seperti ketika site visit jilid 2: kostum abdi dalem, tanpa alas kaki, sanggulan, dan pakai ransel.

Tiba saat kami diajak masuk oleh Mas Sap ke dalam. Gerbang depannya macam model bangunan di film kolosal Indo*siar yang naga-naga terbang itu. Masih ada pengaruh Hindunya. Setelah gerbang, ada masjidnya. Di halaman masjid banyak pohon sawo kecik macam rumah atau bangunan orang Jawa jaman dulu. Kata Mas Bim, mengapa yang ditanam adalah sawo kecik? Karena sawo kecik itu simbol kabecikan (kebaikan). Pohon sawo kecik batang-batangnya juga teratur, menandakan bahwa orang Jawa itu hidupnya teratur dan tidak semrawut (acak-acakan). Daaan banyak lagi filosofinya..saya lupa haha.

Tim Têpas sudah mulai sibuk mengatur kamera di sana-sini. Menyiapkan kira-kira sudut yang pas untuk mengambil gambar di sebelah mana dsb. Saya dan Desti sibuk menanti kehadiran Mbak Hayu dan Mas Noto beserta rombongan tiba di komplek pemakaman. Eh, yang tiba duluan malah Pak R yang baru kali itu saya lihat beliau pakai pranakan. Wuih, njenengan (bahasa Jawanya Anda)kece bingits Pak! Haha.

Cukup lama kami menunggu, akhirnya rombongan datang juga. Saya bagian timer, memperhatikan jam dan mencatat kapan mereka tiba. Desti mulai beraksi dengan laporan pandangan matanya. Kami pun langsung ikut mengekor di belakang rombongan. Setelah gerbang depan, ada gerbang lagi menuju Bangsal Pengapit Ler, semacam pendopo kecil dan dua bangunan seperti limasan yang berhadapan. Di situlah saya dan Desti harus berubah jadi Wonder Women. Sebelum masuk komplek utama pemakaman, karena kami bukan kerabat Kraton, jadi kami harus ganti kostum pakai kemben. Okesip. Isis..isis (adem) lah kami..siliiirr.

Kami akhirnya mengekor lagi masuk kedalam komplek utama pemakaman. Tapi tim Têpas hanya diijinkan mengambil gambar sampai lingkungan pendopo tadi. Kalau saya dan Desti syukur boleh ikut sampai dalam. Begitu masuk…ya, kanan kiri nisan semua. Atmosfernya juga sudah beda. Kami berjalan menyusuri karpet di atas konblok yang mungkin sengaja dipasang supaya kalau untuk jalan tidak panas. Bau macam bunga-bunga, kemenyan, dan dupa semerbak di mana-mana.

Kami berjalan cepat dan tiba di sebuah bangunan seperti rumah besar dengan dinding putih. Di depan bangunan itu ada abdi dalem yang sedang membaca mantra doa-doa sambil membakar kemenyan dan dupa. Asap yang ditimbulkan dari pembakaran itu sangat tebaaal tapi tidak sampai mengganggu pandangan mata kami yang sedang berjalan. Kemudian kami dibimbing masuk oleh salah satu abdi dalem.

Di dalam bangunan itu, sama seperti di luar, penuh dengan nisan. Hanya saja nisan di dalam ruangan ini besar-besar, berdempet-dempet, beberapa ada yang di atasnya dipasang langse atau singep yaitu kain kelambu. Di ruangan yang minim cahaya itu, berserakan bunga-bunga yang telah kering yang ditinggalkan para peziarah. Di sudut ruangan yang remang-remang sedang akan dimulai acara doa dan tahlil. Mbak Hayu dan Mas Noto sudah duduk di depan nisan Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram Islam. Di belakangnya duduk para abdi dalem termasuk Pak R, Mas Sap, dan Mas Bim.

Saya dan Desti di suruh duduk di depan bergabung dengan mereka. Tapi karena kami takut mengganggu kekhusyukan doa, kami memilih duduk agak jauh sambil mengamati apa yang mereka lakukan. Kami mengamati doa dan tahlil yang dipimpin oleh seorang abdi dalem.  Doa diucapkan menggunakan bahasa Jawa dan tentunya Arab. Kurang lebih 30 menit, doa pun selesai. Setelah doa dilanjutkan tabur bunga. Desti pun mewawancarai salah satu abdi dalem. Disebutkan siapa saja yang dikebumikan di ruangan itu. Ada tiga generasi Mataram yang dikebumikan di sana, antara lain Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Senopati, dan Sinuhun Prabu Hanyokrowati. Lalu ada juga makam Sultan HB II yang merupakan satu-satunya raja Yogyakarta yang dimakamkan komplek makam raja Mataram. *habis buka catatan gitu ceritanya, biar ketok pinter* :p






Usai wawancara, saya dan Desti memilih keluar duluan. Mbak Hayu dan Mas Noto masih di dalam untuk tabur bunga. Kami pun segera mengenakan janggan. Selain karena adem, di luar banyak sekali anak-anak muda yang entah datang dari mana memotret berbagai macam objek di sekitar pendopo. Maluk ah diliatin brondong..ada tante-tante seksi pakai kemben tapi nggendong ransel.

Desti pun dengan cekatan segera mengolah bahan yang dia dapat menjadi tulisan. Dia memilih memulai mengerjakan saat itu supaya nanti di rumah tinggal leyeh-leyeh katanya. Okesip. Desti mengeluarkan laptop dan mengetik di serambi ruangan tempat kami ganti baju. Saya yang tidak berkewajiban menulis, mengamati keadaan sekitar, liatin adik-adik brondong memotret pakai kamera analog. Sini nak..poto sama tante..aheuheuheu~

Tidak lama, rombongan Mbak Hayu dan Mas Noto keluar. Nampaknya mereka akan segera menuju tempat tujuan selanjutnya: Komplek Makam Raja-raja Yogyakarta di Imogiri. Saat itu posisi kami masih duduk dan Desti masih ngetik. Apa yang terjadi? Mbak Hayu motretin Desti yang masih serius ngetik sambil ketiwi-ketiwi. Saya juga ketiwi liat Desti dipoto begitu. Tapi ternyata, setelah dilihat hasilnya, saya juga ikut dipoto! Untung enggak kelihatan mukak saya. Uww wujud saya macam embok-embok tukang jamu nan semok aduh nggak pakai hai. Dan ternyata lagi, foto tersebut diupload Mbak Hayu di Twitter nya. Awww~ >..< Nggak apalah, ada embok-embok numpang eksis.

Kami semua bersiap meninggalkan Kotagede menuju Imogiri. Kali ini saya dan Desti menebeng Pak R. Mas Bim turut bersama kami supaya Pak R enggak dikira nyulik dua anak gadis buat dijadikan tumbal. Kami menitipkan alas kaki kami di mobil tebengan kami sebelumnya, duh, Mas, maapkeun yak kalo rada bau segerr gitu..haha..

Saya semakin antusias dengan perjalanan ini. Akan ada hal seru apa lagi di sana? Supaya enggak capek bacanya, akan dilanjutkan di nyekar part berikutnya. Dadaah~

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe